Songsong. Begitulah kami memanggilnya. Anda pernah mendengar sebutan itu? Ya, bagi panjenengan semua yang mengaku pernah mengenal budaya Jawa, pasti tidak asing dengan Songsong.
Awal September 2022 yang lalu, di istana Mangkunegaran digelar festival payung se-Indonesia (FESPIN). Festival ini merupakan salah satu festival warisan yang setiap tahun rajin mewarnai kota kecil dengan jargon The Spirit of Java.Â
Untuk musim ini FESPIN 2022 telah berhasil masuk dalam 10 besar festival terbaik Indonesia dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) 2022 yang diselenggarakan oleh Kemenparekraf.
FESPIN merupakan ajang pengenalan kembali filosofi songsong kepada masyarakat luas. Tema The Kingdom and Umbrella sengaja diambil untuk menyusun kembali ingatan masa lampau akan songsong sebagai simbol keagungan para priyayi, bangsawan Jawa.Â
Dalam proses perjalanannya, songsong bukan hanya hidup sebagai wujud abstraksi hirarki kebangsawanan masa lampau. Namun pada realitanya, songsong pun ikut berperan dalam perputaran roda ekonomi masyarakat Jawa.Â
Di awal abad 19 songsong tidak digunakan secara sembarangan. Kisah perjalanan songsong khususnya pada masyarakat Jawa berfungsi sebagai penanda bagi tinggi rendah strata sosial masyarakat kala itu.Â
Songsong sebagai simbol hirarki Kraton Surakarta Hadiningrat hadir dalam bentuk segitiga. Hal ini mengandung filosofi makna religi maupun sistem kemasyarakatan tersendiri dalam kultur masyarakat Jawa. Â
Payung atau disebut pula sebagai songsong dibedakan dari warna, bentuk, motif hias, maupun tangkai songsong. Mulai dari warna prada emas, putih, hijau, biru, merah, dan hitam.
Para budayawan berpendapat bahwa model segitiga pada songsong menunjukkan adanya lapisan pertama sebagai simbol kekuasaan tertinggi yaitu raja, lapis kedua simbol bagi para satria sebagai pemangku pertahanan negara, dan terakhir adalah lapisan rakyat jelata.
Warna emas dipilih bagi kaum bangsawan strata atas tak lain dan tak bukan karena emas merupakan simbolisasi dari kemuliaan sang Sinuhun. Sedangkan warna dasar putih dengan seret emas, dan bermotif lung pakis biasanya milik para Sentana Riya Nginggil (biasanya bergelar Kanjeng Raden Aria).
Sedangkan warna hitam sebagai identitas dari kematian. Warna ini biasanya diperuntukkan bagi rakyat jelata. Ya, hirarki masa lampau, Kawan.
Bahkan ada beberapa literasi menyebutkan bahwa pada masa kekuasaan Paku Buwono IV terdapat pelarangan menggunakan songsong kecuali bagi mereka yang bergelar pangeran.
Keunikan payung dengan beragam filosofi yang hadir berfusi bersama budaya masyarakat setempat. Pada akhirnya, songsong mulai diproduksi oleh masyarakat. Bersamaan dengan maraknya kesempatan masyarakat bekerja sebagai buruh di pabrik gula, songsong pun ikut mengisi pundi-pundi masyarakat kelas bawah.
Pada zaman dulu, songsong diproduksi dengan menggunakan moda cat dan lukisan tangan. Sehingga muncul beragam sebagai songsong dengan motif-motif cantik.
Tergerus gelombang industri pabrikan, payung hadir lebih praktis. Bukan lagi terbuat dari kertas. Payung hadir dengan menggunakan kain dan printing dengan desain mesin yang lebih praktis.
Pergeseran budaya inilah yang kemudian menggusur produksi dan eksistensi songsong dalam pluralisasi masyarakat yang multietnis. Songsong berangsur hanya menjadi payung yang berfungsi sebagai aksesoris di saat prosesi pemakaman berlangsung. Fakta inilah yang kemudian memunculkan mistikisasi terhadap songsong.
Tengah timbulnya kerinduan kembali mendudah keagungan budaya masa lampau, kini songsong kembali dihidupkan di bumi persada.
Di luas Pamedan, halaman depan gerbang Puro Mangkunegaran, kami disuguhi koridor payung indah nan menawan.
Beberapa seniman yang ikut ambil bagian dalam festival kali ini pun berpendapat bahwa payung dianggap sebagai simbol dari keagungan, kesadaran, dan kebersamaan.
Bukan hanya dari kertas. Songsong pada festival kali ini hadir pula dalam beragam bentuk dan bahan dasar serta motif.
Selain motif batik, teknik sulam dan rajut ternyata tak kalah cantik menghiasi pelataran pendopo Ageng Puro Mangkunegaran. Sulam dan rajutan indah penuh warna tak mampu menyembunyikan kecantikan dan kemolekan spektrum warna dari setiap jemari pembuatnya.
Mata saya (dan saya yakin seluruh pengunjung) kembali tersihir pada payung-payung gigantik yang sengaja dipajang mengelilingi halaman hijau venue FESPIN 2022.
Tak luput dari mata kamera beribu lensa yang sempat mengintip nakal, payung berbahan kain-kain perca menambah koleksi wacana kami bersama.
Belum putus kekaguman kami pada beragam pantulan keindahan pameran payung Catra Citra. Kembali satu sudut sebelah barat Pendopo hadir menghiasi kesadaran kami akan potensi daur ulang kekayaan alam. Mulai dari payung berbahan dasar pelepah pisang hingga dedaunan kering menjadi objek para seniman merangkai imaji mereka.
Melangkah lebih jauh, saya kembali disuguhi keramaian riuh anak-anak kecil memadati sebuah sudut di sebelah timur pendopo. Ya, riuh dan tawa kecil anak-anak yang ingin belajar membuat payung dari ketrampilan origami menarik saya mendekat.
Langit biru masih melekat. Memadati siang yang perlahan menuju senja. Pertunjukan seni dari Thailand, India, dan Spanyol serta dari berbagai penjuru tanah air pun usai mengiring festival penuh warna.Â
Di sini kami menunggu sebuah harap penuh pasti. Di tahun yang mendatang, kami akan kembali lagi.
Sampai jumpa, salam sepayung
Penulis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI