Menapaki setiap jejak sejarah. Menelusuri derap waktu yang membayangi para saksi bisu. Merunut sang kala yang tiada lupa mengetuk sadar kita. Bahwa perjuangan pantas untuk diteruskan.
Berbicara tentang bangunan bersejarah. Saya yakin kita kerap menjumpai berjuta tempat-tempat indah di setiap sudut di Indonesia. Tempat yang siap bercerita kepada kita dalam kebisuan mereka.
Solo, atau bila kita ingin lebih formal maka bolehlah disebut Surakarta. Kota yang menyimpan berjuta kenang pada masa kolonial.Â
Mulai dari simpang empat Gladag. Ada dua lapis gapura yang menjadi ikon kota Surakarta.
Di sebelah utara gapura, dengan mudah kita menjumpai kontur-kontur bangunan yang banyak didominasi oleh gaya Eropa. Beberapa diantaranya ada yang masih dalam kondisi terawat dengan bagus, namun ada pula yang entah karena alasan apa seakan tak terurus.
Nah, daripada terlalu lama mari saya akan mengajak kita semua memungut bulir sejarah dari narasi yang lahir dari rahim sang kala.
Jalan Jendral Sudirman Surakarta. Bila kita keluar dari Kraton Surakarta, lalu kita berjalan ke arah simpang empat Gladag kita akan menemukan deretan bangunan kuno. Area Jalan Jendral Sudirman merupakan arteri bagi jantung kota Surakarta.
#1 Titik Nol Surakarta
Tugu kecil yang berdiri tepat di depan Balai Kota Surakarta ini biasa disebut sebagai Tugu Pamandengan. Belum ada literasi yang secara tepat mengurai kapan tugu tersebut di bangun.
Meski demikian, beberapa narasi menyebut bahwa tugu yang dianggap memiliki titik kosmologi pada zamannya ini dibangun antara masa pemerintahan SISKS Paku Buwono (PB) IV hingga PB X.
Dikatakan mempunyai daya kosmologi kuat, karena tugu inilah yang menjadi simbol pemusatan ide atau upaya para Raja Kraton Surakarta untuk memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi rakyat.
Dari titik nol Surakarta, mari saya akan mengajak Anda menikmati beberapa sajian cagar budaya lainnya di sepanjang jantung kota Bengawan.
#2 Pasar Gede Hardjonegoro
Hmm, bagi kami masyarakat Solo, Pasar Gede merupakan warisan ikonik yang menyimpan berjuta cerita sejarah.Â
Pasar para Ratu. Begitulah kami biasa menyebutnya. Saya sarankan bila ada yang ingin menikmati kuliner Solo baik yang otentik maupun kuliner warisan peranakan, datanglah agak siang. Ya, antara jam 08:00-09:00 WIB.Â
Wokay, mari kita kombek lagi, Kawan.
Sebagaimana diketahui, ada tiga dominasi suku yang berasimilasi di kota Solo. Arab-Pakistan, Tionghoa, dan Jawa.Â
Pasar Gede mulanya merupakan tanah lapang yang ada di sekitar rumah warga keturunan Tionghoa. Karena dinamika ekonomi masyarakat Tionghoa begitu tinggi sehingga perniagaan di tanah lapang tersebut semakin ramai dikunjungi pula oleh para pedagang lain dari berbagai daerah.Â
Seiring berjalannya waktu, Kanjeng Sinuhun PB X kemudian berinisiatif untuk mendirikan pasar Gede. Pembangunan pasar melibatkan arsitek Belanda, Thomas Karsten. Dari semenjak awal berdiri, pasar tersebut dibangun bertingkat. So, inilah yang kemudian menjadikan pasar tersebut sebagai pasar bertingkat pertama di Indonesia Kota Surakarta.
Pengerjaan pasar dimulai pada bulan Januari 1927. Beton dan material yang dibutuhkan oleh Karsten didatangkan dari Hollandsche Betonmaatschappij.
Beberapa tahun kemudian PB X memilih tanggal 13 Januari 1930 sebagai hari baik untuk meresmikan pasar menurut perhitungan Jawa. Meski pada saat itu pembangunan pasar belum juga usai.Â
Pasar Gede dalam perjalanannya di kemudian hari digunakan sebagai alat adu domba oleh Belanda. Sehingga mengakibatkan konflik antar ras yang hingga pasca perang kemerdekaan Indonesia aroma gesekan antar ras dan suku masih saja menjadi pemantik kuat konflik antar warga.
Sebagaimana arsitektur Belanda pada umumnya, Pasar Gede Hardjonegoro dirancang menggunakan sirkulasi udara dan alur pencahayaan alami. Terlihat dengan jelas dari bangunan pasar yang pada tahun 1949 telah direnovasi ulang oleh pemerintah Indonesia akibat perusakan oleh Belanda pada masa perang kemerdekaan.
Di sebelah selatan pasar kita dapat menjumpai bangunan bernuansa Tionghoa. Didominasi cat berwarna merah, berdiri begitu unik: Klenteng Tien Kok Sie berhimpitan dengan bangunan modern dengan konstruksi yang lebih tinggi.Â
Konon, sebelum menjadi tempat ibadah resmi umat Tridharma (Budha, Konghucu, dan Taoisme) klenteng Tien Kok Sie merupakan rest area bagi para warga Tionghoa yang baru saja turun merapatkan kapalnya di pinggir Sungai Pepe.Â
Keberadaan altar Thian Sian Sing Bo atau Dewi laut menjadi bukti bahwa pada masa dahulu Soeracarta merupakan kota pelabuhan. Masyarakat Tionghoa memuja Dewi Laut. Mereka bersembahyang supaya diluputkan dari marabahaya pada saat berlayar.
#3 Benteng Vastenburg
Hmm, sekilas dari namanya, benteng ini hampir mirip dengan benteng Vredeburg di Yogyakarta, bukan?Â
Namun secara kondisi fisik benteng peninggalan Belanda ini mempunyai konstruksi yang sedikit berbeda bila dibandingkan dengan benteng Vredeburg di Yogyakarta.Â
Well, saya yakin bahwa setiap bangunan berdiri memiliki keunikannya sendiri. Setiap bangunan didirikan menurut fungsinya masing-masing.
Sebelum melangkah lebih jauh, menurut catatan seorang ahli sejarah D'Almeida, benteng Vastenburg bukanlah satu-satunya benteng di luar Kraton Surakarta Hadiningrat. Diperkirakan ada dua benteng lain selain Vastenburg.Â
Benteng yang pada awal berdirinya (1745) berjuluk Benteng Grootmoedigheid beralih nama menjadi Benteng Vastenburg tahun 1756.
Dari beragam literasi yang saya baca, benteng Vastenburg merupakan benteng yang didirikan oleh Belanda pada angka tahun 1775 digunakan sebagai kamera pengawas atas segala peristiwa yang bergulir dalam keseharian masyarakat Solo.Â
Terlebih, benteng ini merupakan sisa-sisa kekuasaan Belanda untuk mengatur roda pemerintahan Keraton Surakarta Hadiningrat. Tentu saja dengan segala intrik politik kekuasaan feodalis mereka kala itu.
Bila dilihat dari dalam benteng, nampaknya Vastenburg hanyalah berfungsi sebagai tempat pertahanan tanpa tambahan fungsi lainnya. Terbukti hanya ada beberapa bilik ruang yang tersebar di beberapa titik.
Tanah lapang yang ada di dalam benteng Vastenburg pada masa yang lalu berfungsi sebagai tempat berlatih militer para pasukan Belanda.
Memang pada saat Gubernur Van Imhoff berkuasa, benteng ini digunakan sebagai pengawas aktivitas warga Solo. Baik dalam aktivitas ekonomi warga Tionghoa dan warga lain yang kala itu terpusat di Pasar Gede, maupun kegiatan pemerintahan Kraton Surakarta Hadiningrat yang ada di sebelah selatan Benteng. Demikian pula segala aktivitas warga Arab yang tinggal di Pasar Kliwon, sebelah tenggara Kraton Surakarta.
#4 Perkampungan Lodjiwetan
Bila di daerah lain ada kampung-kampung unik, maka Solo pun tak mampu menyembunyikan kampung ikoniknya. Kampung-kampung yang dibangun pada masa kolonial Belanda tentu saja memiliki keunikan tersendiri.
Di daerah Sudiroprajan ada kampung Balong, surga kuliner yang dihuni sebagian besar oleh warga keturunan Tionghoa.
Ada pula dua kampung batik tersohor yang wajib menjadi destinasi wisata bagi para turis, baik lokal maupun mancanegara. Kampung batik Kauman dan Kampung batik Laweyan. Punya sejarahnya? Mungkin di lain waktu kita membahas kampung-kampung unik tersebut, okay.
Yuks marilah ke mari, sekelumit narasi akan saya persembahkan.Â
Bahwa pada masa kejayaan Belanda berkuasa di wilayah Surakarta, PB II memihak serta mendukung kekuasaan Belanda di kota Surakarta.
Antara perkampungan Balong yang dihuni oleh warga Tionghoa (hingga saat ini) dengan perkampungan elit para bangsawan Belanda terpisahkan oleh Sungai Pepe.
Apresiasi para elit Belanda terhadap dunia seni dan masyarakat Solo pada umumnya terlihat jelas dengan berdirinya tiga societeit (gedung hiburan) besar di Surakarta. Tiga diantaranya adalah Societeit de Harmonie, Societeit Habripaya dan Societeit Sasana Soeka. Hmm, kapan-kapan kita jalan-jalan menjelajah ke salah satu gedung societeit tersebut ya, Kawan.
Anyway, untuk menikmati hiburan tradisional (seperti wayang, tari tradisional, ketoprak) pada masa abad ke-19 dianggap menghabiskan waktu lama. Kesenian tradisional tersebut kemudian mengalami pergeseran, diganti dengan hiburan yang lebih modern. Seperti pesta topeng, dansa, biliar (meja bolah), bermain kartu dan diadakannya pesta mewah disertai lagu-lagu Belanda.Â
Bukan hanya para elit Belanda berkantong tebal, melainkan para cukong Tionghoa juga dari kalangan para priyayi Kraton ikut ambil bagian dalam pesta mewah tersebut. Sehingga dalam literasi kuno ada pula yang menyebut rumah societeit ini sebagai omah setan.
Salah satu bukti pergeseran kebudayaan tersebut adalah didirikannya Societeit de Harmonie di kampung Lodji Wetan.Â
Hingga sekarang bila kita melewati perkampungan yang terletak tepat di sebelah timur benteng Vastenburg, kita akan menjumpai beberapa bangunan atau rumah lodji yang masih terlihat gahar meski tertelan debu pada pintu-pintu dan karat pada gerbang-gerbangnya.
Rumah-rumah elit para bangsawan Belanda kini telah beralih tangan. Namun demikian, masih banyak rumah dengan arsitektur kuno di sepanjang kampung Lodji Wetan.
Wah, sudah hampir 1500 karakter. Okay sudah dulu ya. Lain waktu kita akan sambung kembali berhalan-halan menikmati lini kota Bengawan. Dari kota Bengawan, saya ucapkan selamat memaknai kemerdekaan kita. Jayalah terus Indonesia.
Salam sehat, salam sadar.
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H