Bila di daerah lain ada kampung-kampung unik, maka Solo pun tak mampu menyembunyikan kampung ikoniknya. Kampung-kampung yang dibangun pada masa kolonial Belanda tentu saja memiliki keunikan tersendiri.
Di daerah Sudiroprajan ada kampung Balong, surga kuliner yang dihuni sebagian besar oleh warga keturunan Tionghoa.
Ada pula dua kampung batik tersohor yang wajib menjadi destinasi wisata bagi para turis, baik lokal maupun mancanegara. Kampung batik Kauman dan Kampung batik Laweyan. Punya sejarahnya? Mungkin di lain waktu kita membahas kampung-kampung unik tersebut, okay.
Yuks marilah ke mari, sekelumit narasi akan saya persembahkan.Â
Bahwa pada masa kejayaan Belanda berkuasa di wilayah Surakarta, PB II memihak serta mendukung kekuasaan Belanda di kota Surakarta.
Antara perkampungan Balong yang dihuni oleh warga Tionghoa (hingga saat ini) dengan perkampungan elit para bangsawan Belanda terpisahkan oleh Sungai Pepe.
Apresiasi para elit Belanda terhadap dunia seni dan masyarakat Solo pada umumnya terlihat jelas dengan berdirinya tiga societeit (gedung hiburan) besar di Surakarta. Tiga diantaranya adalah Societeit de Harmonie, Societeit Habripaya dan Societeit Sasana Soeka. Hmm, kapan-kapan kita jalan-jalan menjelajah ke salah satu gedung societeit tersebut ya, Kawan.
Anyway, untuk menikmati hiburan tradisional (seperti wayang, tari tradisional, ketoprak) pada masa abad ke-19 dianggap menghabiskan waktu lama. Kesenian tradisional tersebut kemudian mengalami pergeseran, diganti dengan hiburan yang lebih modern. Seperti pesta topeng, dansa, biliar (meja bolah), bermain kartu dan diadakannya pesta mewah disertai lagu-lagu Belanda.Â
Bukan hanya para elit Belanda berkantong tebal, melainkan para cukong Tionghoa juga dari kalangan para priyayi Kraton ikut ambil bagian dalam pesta mewah tersebut. Sehingga dalam literasi kuno ada pula yang menyebut rumah societeit ini sebagai omah setan.
Salah satu bukti pergeseran kebudayaan tersebut adalah didirikannya Societeit de Harmonie di kampung Lodji Wetan.Â