Seiring berjalannya waktu, Kanjeng Sinuhun PB X kemudian berinisiatif untuk mendirikan pasar Gede. Pembangunan pasar melibatkan arsitek Belanda, Thomas Karsten. Dari semenjak awal berdiri, pasar tersebut dibangun bertingkat. So, inilah yang kemudian menjadikan pasar tersebut sebagai pasar bertingkat pertama di Indonesia Kota Surakarta.
Pengerjaan pasar dimulai pada bulan Januari 1927. Beton dan material yang dibutuhkan oleh Karsten didatangkan dari Hollandsche Betonmaatschappij.
Beberapa tahun kemudian PB X memilih tanggal 13 Januari 1930 sebagai hari baik untuk meresmikan pasar menurut perhitungan Jawa. Meski pada saat itu pembangunan pasar belum juga usai.Â
Pasar Gede dalam perjalanannya di kemudian hari digunakan sebagai alat adu domba oleh Belanda. Sehingga mengakibatkan konflik antar ras yang hingga pasca perang kemerdekaan Indonesia aroma gesekan antar ras dan suku masih saja menjadi pemantik kuat konflik antar warga.
Sebagaimana arsitektur Belanda pada umumnya, Pasar Gede Hardjonegoro dirancang menggunakan sirkulasi udara dan alur pencahayaan alami. Terlihat dengan jelas dari bangunan pasar yang pada tahun 1949 telah direnovasi ulang oleh pemerintah Indonesia akibat perusakan oleh Belanda pada masa perang kemerdekaan.
Di sebelah selatan pasar kita dapat menjumpai bangunan bernuansa Tionghoa. Didominasi cat berwarna merah, berdiri begitu unik: Klenteng Tien Kok Sie berhimpitan dengan bangunan modern dengan konstruksi yang lebih tinggi.Â
Konon, sebelum menjadi tempat ibadah resmi umat Tridharma (Budha, Konghucu, dan Taoisme) klenteng Tien Kok Sie merupakan rest area bagi para warga Tionghoa yang baru saja turun merapatkan kapalnya di pinggir Sungai Pepe.Â
Keberadaan altar Thian Sian Sing Bo atau Dewi laut menjadi bukti bahwa pada masa dahulu Soeracarta merupakan kota pelabuhan. Masyarakat Tionghoa memuja Dewi Laut. Mereka bersembahyang supaya diluputkan dari marabahaya pada saat berlayar.
#3 Benteng Vastenburg