Hindari banyak konsumsi mie instan, karena akan mendatangkan kebucinan. Ga percaya? Coba bila Anda punya nyali, baca saja artikel saya kali ini.Â
Harga mie instan bakalan naik tiga kali lipat? Hmm, sekilas membaca kabarnya sih masih oke. Tapi lama kelamaan jadi nganga juga mulut saya. Kontan saja neuron dalam otak saya segera mengeluarkan percik listrik.Â
Otak kalkulasi aktif dengan segera. Harga mie instan rebus di warung sebelah kosan rerata 3 ribu rupiah, kalo dikali 3 sekeping mie instan bakalan jatuh di harga 9 ribu rupiah. Itu kalau beli mentahan. Kalau makan di angkringan belakang rumah mungkin akan berbeda lagi harganya.
Pakdhe penjual di angkringan perlu bayar listrik juga, bukan? Lha wong kalau makan di angkringan milik beliau tersedia fasilitas nobar AFF, kadang tersedia pula free ticket tontonan sinetron kejar tayang dambaan insan. Yang pasti makan mie full angin malam plus informasi faktual berbumbu gosip tetangga kiri kanan. Â
Keunikan lainnya, meskipun dunia perniagaan heboh dengan isu PPN yang mengalami kenaikan tarif menjadi 11% harga makan di angkringan tetap tak ada kenaikan. Termasuk harga semangkuk mie instan.
Mie instan olahan angkringan sudah pasti berasa beda dengan mie instan bikinan sendiri. Vibes nya itu lho, Kawan. Bakalan beda. Yang jelas, kalau makan di angkringan kecerdasan kolektif kita bakalan meningkat bila dibandingkan menikmati mie instan sendirian di rumah.
Beragam ide bak rembug kampung kekadang hadir bermunculan dalam dialog interaktif yang jauh dari definisi formal. Mau tahu siapa moderatornya? Ya, tak lain dan tak bukan Pakdhe sang penjual angkringan.
Terlebih bagi jomlo harapan bangsa seperti saya dan rekan seperjuangan lainnya. Acapkali inilah alasan kami merindukan vibes angkringan, Saudarakuh. Kehadiran semangkuk mie instan pada kenyataanya mampu mendistraksi stres usai aktivitas keseharian. Btul kan? Iya kan? Jayalah mie instan.
Sebenarnya, ada feel yang berbeda saat menikmati mie instan sendiri di kamar kosan. Serasa kecerdasan individual kami hanya berkembang layaknya bakteri. Alone. Krik krik. Garing, serenyah keripik kentang bikinan pabrikan.
Baiqla,markinjut...mari kita lanjut.
Namun tetiba jantung saya jadi jedag-jedug saat kalkulasi berlanjut. Kembali menghitung 9 ribu dikali 3. Ini kalau kondisi tanggal tua kami parah nian, Kawan. Ya, kekira tanggal tua hanya cukup 3 hari menjelang gajian .Maka total dalam 3 hari minimal harus keluar duit 27 ribu rupiah.Â
Oh yha itu belum kalo keuangan kami parah banget. Bisa-bisa sehari 3 kali kami makan mie instan. Nah, itung sendiri aja. Berapa duitkah itu. Kemungkinan paling buruk, ya kami ambil dulu dari warung sebelah.Â
Waw. Serasa bak para pelancong tahu harga tiket masuk pulau komodo bakal melejit amit-amit. Â
Ah, yaudala. Jantung jedag-jedug pun tak apa, paling engga ini indikator bahwa saya masih hidup.
Hanya saja, bagi anak kosan seperti saya kabar naiknya mie instan lebih dahsyat dari pada viralnya kasus FS yang hingga artikel ini ditulis masih saja awet nangkring di atas papan trending topic di Twitter.Â
Kabar ini mungkin tidak akan membuat bingung bagi Anda, Anda,dan Anda yang sanggup menolak kenikmatan micin dan bahan pengawet. Sungguh sajian inilah yang menjadi senjata andalan kami anak kosan di tanggal tua sebelum gajian.
Literally, makanan siap saji yang nikmatnya kondang hingga kolong langit sejagat ini memang selalu menggugah selera. Lha, apalagi di kala semua serba tak pasti. Tak pasti besok terima gaji berapa. Tak pasti besok bayar cicilan utang makan di warung sebelah atau kredit motor yang didahulukan.
Wah, masalah naiknya harga mie instan sungguh menguak tabir dompet anak kosan yang hanya bisa ketar-ketir kuatir menunggu jatah kiriman ortu. Mungkin kami anak kosan harus lebih meningkatkan kualitas jejaring persahabatan kami.Â
Demi bertahan hidup? Iya jelaslah. Bukankah kita makan juga bertujuan untuk bertahan hidup? Mohon maaf, saya lupa kali ini saya ndak mau nulis yang serius. Postingan selanjutnya sungguh serius. Saya jamin.Â
Plis, kali ini hindari vote "bermanfaat" di laman ini. Tapi jika terlanjur, yaudala. Saya doakan Anda semua yang baca artikel ini sehat dan bahagia.
Ah, tetapi naiknya harga mie instan sepertinya bukan penghadang mimpi kami meraih prestasi. Buktinya, selain mie instan masih banyak kebutuhan kami yang semakin meninggi.
Seperti halnya uang UKT adek mahasiswa. Setiap tahun besarannya seakan senantiasa berajojing ria.Â
Belum lagi masalah harga kuota data. Di jaman disrupsi digital ini kuota data sungguh menopang keseharian kita. Iye lagi, kan?
Nah,...
Ternyata keyakinan dan ekspektasi masa depan anak kosan kembali teruji dengan wacana naiknya harga mie instan.Â
Sebenarnya kenaikan harga mie instan ikut membuktikan bahwa sebagai masyarakat penggemar mie instan kita adalah masyarakat kreatif. Sama seperti adek-adek maba, mahasiswa baru yang mulai jam 6:30 harus mengikuti apel pagi di kampus.
Keributan mulai terdengar di dapur kosan sejak pukul 04:50 WIB. Dapur kosan alias kamar sebelah. Maklum dapur kosan milik bersama ada di sebelah. Bikin sarapan? Oh, tentu tidak. Adek Maba harus belajar memasak makanan absurd yang diminta panitia Ospek kampusnya.
Mie instan? Gak mungkin. Kemarin ada adek Maba yang diminta membawa lunch dari olahan kacang tanah dan wortel. Aduh. Ini sebenarnya ada apa dengan Ospek?
Padahal mie instan jauh lebih mudah dibuat. Secara, mie instan juga lebih mendekati limit real life mahasiswa di tanggal tua tanpa kerja sampingan.Â
Iye ga sih? Ayok anak kosan peserta partai pecinta mie instan, angkat tanganmu skali lagi kawan. Patutlah kita bersyukur, harga mie instan ga jadi naik tiga kali lipat. Coba bayangpun, kalau jadi naik mungkin kita bakalan makan singkong rebus lauk keripik singkong. Itu kalau harga singkong ga ikutan naik juga. Iye kan? Iye kan?Â
Emh....iye gak si? Ah yaudala. Kita nikmati saja semua apa adanya. Yang belum ada mari upayakan supaya ada. Toh juga wacana tersebut dibatalkan.Â
Well, akhirnya semua telah tercerahkan kembali. Meski tanpa pencerahan dari pesulap merah, kuning, hijau.Â
Sebentar, permisi menghilang. Ke ****mart sebelah kosan. Beli mie instan. Tenang saja, raqyat kecil seperti saya hanya bisa bayar kontan. Ga sanggup seperti ibu juragan, yang rela bawa pengacara demi sekeping coklat mie instan.
Akhir kata, yaudala salam sadar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H