Dua tahun sudah kami harus memendam sebuah rindu. Pada hentak tetabuhan, pada rasa setiap gerakan, pada alun santun budaya, serta gempita tangan menepuk ria.
Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan Solo. Merupakan kota yang tidak pernah berhenti dari suar penunjuk budaya. Slogan masyarakat Solo, alon-alon asal kelakon membawa masyarakat Solo kepada ranah keunikan tersendiri. Pelan, namun pasti.
Terbukti dari dua monarki yang masih berdiri tegar di tengah hiruk pikuk modernisasi infrastuktur kota yang mulai bertumbuh. Melintas era. Senada dengan kerinduan masyarakat Solo memulai gebrakan baru. Satu gerakan untuk dapat duduk bersanding bersama kota-kota lain di seluruh dunia dalam sebuah koloni.
Dua tahun masa pandemi covid-19 sempat membuat ekonomi masyarakat dunia, khususnya masyarakat Solo melumpuh. Predikat hitam pernah melekat dan menjadi label betapa tingginya kasus covid-19 di kota Bengawan.
Di tengah kelesuan pasar pariwisata dan sektor ekonomi, generasi muda kini mulai berdiri dan mengangkat tongkat estafet pembangunan kota.Â
Suasana sepi Pasar Klewer mungkin telah menjadi salah satu potret kerinduan Pemerintah Kota bersama Kemenparekraf untuk menggulirkan kembali keping-keping usaha kecil masyarakat.
Kebersamaan, kolaborasi, dan kebersatuan merupakan ranah pertama sentuhan tangan anak-anak muda kreatif bangsa ini.
Pundi-pundi estetika budaya mulai dibuka kembali. Kekayaan daerah berupa batik, suguhan tari dan budaya musik gamelan, kodifikasi kuliner yang otentik, serta kontur-kontur bangunan bersejarah mulai dilirik pemerintah. Ya, gebrakan harus dilakukan.
Longgarnya peraturan tentang protokol kesehatan dari pemerintah seakan menjadi angin segar di tengah impitan kelesuan ekonomi kerakyatan. Gelar budaya kota Solo mulai muncul dan menyuarakan gaungnya.Â
Mengangkat tinggi karya anak negeri. Mulai dari beragam festival lokal bertajuk kebudayaan hingga festival internasional yang sengaja dihadirkan di kota asal Presiden RI Jokowi.