Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kecerdasan Emosi: Ingin Cerdas Berkomentar? Simak Dulu yang Satu Ini

26 Juni 2022   14:31 Diperbarui: 28 Juni 2022   12:55 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: empati memperkuat relasi |via unsplash @priscilla du preez

"Anyone can become angry-that is easy. But to be angry with the right person, to the right degree, at the right time, for the right purpose, and in the right way- that is not easy" (Aristotle) 

Hai, halo, saatnya bertemu saya lagi!

Lead saya terlalu berat? Mmm, tapi sebentar Saudaraku. Mungkin buah pikir Aristoteles tersebut di atas masih relevan dengan kondisi kita sekarang ini, yha. Melihat kembali riuhnya warganet bercuit mesra di jejaring sosial, rasanya saya malah ingin meliburkan diri dari aksi goyang jari. 

Meskipun rasanya saya juga ingin berkomentar tentang berita-berita viral yang belakangan ini rajin menghampiri kuping dan korteks kita. Yang mana? Hampir semua berita yang membumbung di media sosial begitu luwes mengurai ketrampilan jempol kita. 

Atau mungkin jemari kita yang terbiasa hanyut bergoyang di ruang publik; terlatih lihai beropini? Monggo saja. 

Mungkin kita juga masih ingat dengan hasil survei atas 32 negara oleh Microsoft Digital Civility Index satu tahun yang lalu? 

Menurut survei Microsoft tersebut, warga +62 telah tercatat sebagai warganet yang paling tidak sopan dalam penggunaan media sosial. Ujaran kebencian, hoaks, dan topik seksualitas diindikasikan menjadi suguhan yang banyak digandrungi warganet setiap hari. 

Masih ingatkah kita bagaimana respon warganet kita saat itu? Bagaimana Microsoft pada kisaran bulan Februari 2021 menuai badai komentar pedas dari warganet kita yang tersayang? 

Tentunya, masih segar ingatan kita pada era cebong-kampret. Bisa jadi dimensi medan Kurusetra berpindah ke meja makan keluarga. Mungkin juga perseteruan sengit terurai panjang hanya gegara perbincangan santai antar jamaah cebong-kampret ini.  

Ah, perseteruan dalam sebuah lini laku demokrasi politik memang memunculkan karakter-karakter fiksi baru. Mengalir begitu saja. Dan rasanya hidup belum lengkap bila tidak terlibat di dalam perseteruan tersebut. 

Bagaimana dengan guyonan salah satu publik figur politik tentang tukang bakso? Ada yang terpicu, mencuit dikit, bahkan ada yang terkesan nylekit. 

Ah, sudahlah. Kali ini saya tidak akan mengupas isu-isu tersebut. Hanya saja, sepertinya saya akan menyuguhkan sebuah rasa dari bilik korteks kita. 

Seiring ritme informasi yang semakin cepat, jempol dan jemari kita pun terlatih melompati tuts keyboard HP sedemikian rupa. Seolah kita lupa bahwa ada satu waktu di mana kita butuh meliburkan  jemari kita. Jemari yang senang berjumpalitan dalam ruang komentar dimensi maya. 

Ah, tapi kalo hanya berkomentar kita tidak pernah terhubung di dunia nyata? Ga pa pa donk. Ya atau tidak? Lagian kan selama pandemi kita berada di bawah kekuasaan dunia daring? Betul? 

Kenikmatan belum tentu merupakan kebahagiaan. Karena kenikmatan belum tentu disertai dengan empati. Memang benar bahwa kenikmatan tanpa empati pun mampu mendatangkan kegembiraan. Hanya gembira. Bukan kebahagiaan. 

Sorotan Sains Tentang Empati

Kemajuan duo kembar, bioteknologi dan teknologi informasi memantik sains yang dulu bersandar pada dimensi filsafat, kini mulai bergerak. Sains bergeser pada hasil riset yang dapat dibuktikan secara empiris. Dengan demikian boleh pula dikatakan bahwa sains bersifat dinamis. 

Seperti halnya dengan perkembangan kognitif individu. Sains hadir memberikan jawaban bagaimana seseorang belajar memaknai keberadaannya. Kini semua mampu dipelajari dan dibuktikan secara saintifik. 

Bagaimana cara kita bersosialisasi dengan sesama. Bagaimana kita memaknai apa yang kita sebut sebagai "manner". Bahwa ternyata cara kita makan, minum, bahkan bersikap dalam lingkup sosial semua dapat kita pelajari melalui anatomi tubuh. 

Semua masih berhubungan dengan pengelolaan kecerdasan emosi kita. 

Satu dari 5 unsur dalam kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence adalah bagaimana kita mengenali emosi orang lain. Pengenalan ini menolong kita supaya mampu membangun kolaborasi dalam suatu sistem relasi sosial. 

Kolaborasi atau kerja sama dipandang sebagai perilaku dengan keberhargaan lebih tinggi dibandingkan dengan kompetisi. Dalam hal kecerdasan berkelompok, empati memegang peranan penting.

Lalu apa itu empati? Mengambil definisi dari American Psychological Association, emosi merupakan bagaimana kita memahami orang lain dari cara pandangnya, bukan melalui cara pandang kita. Merasakan perasaan orang tersebut, bahkan menyelami pemikiran dan persepsi orang tersebut. 

Tahukah Anda bahwa setiap orang mempunyai bakat untuk berempati. Semenjak lahir? Tentu saja! 

Apakah ada mereka yang antipati? Ada. Hanya saja mereka yang tergolong dalam kategori ekstrim ini jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan individu yang mempunyai empati. 

Okay, back to emphaty, Saudara. 

Sangat mudah berbicara tentang empati. Yang paling susah adalah bagaimana kita dapat menghidupinya. Sangat susah. 

Kenapa kita susah menggunakan empati sebagai sebuah batasan dalam berelasi? Sehingga seringkali kita memilih untuk dengan cepat memberi respon balik? 

Adakah hubungannya dengan empati? Jawabannya: YA. ADA.

Dalam berelasi, terkadang kita terburu memberikan saran atau nasehat. Padahal teman atau sahabat kita pada saat itu hanya butuh untuk didengarkan. Atau, kita terlampau cepat membuat kesimpulan lantas sesegera mungkin berkomentar hanya dengan membaca judul sebuah artikel. 

Tahukah Saudara bila otak kita sangat senang bekerja dengan cara yang teratur. Berlatih secara kontinyu.

Entah terlatih hingga terbiasa untuk jump to conclusion atau terlatih untuk menahan diri dari segala stimulan yang seringkali datang memantik emosi. 

Lihat cara kita makan. Kita tidak usah berpikir bagaimana cara makan. Adanya gerak reflek? Bukan! Ini terjadi karena dari saat kita masih kecil, kita telah berlatih bagaimana cara makan. 

Apa yang terjadi pada saat kita melakukan aktivitas tanpa harus berpikir terlebih dahulu menggunakan bagian prefrontal korteks? Kita melakukan aktivitas makan, minum, membaca buku, membuka pintu semua menggunakan working memory. Yaitu ingatan yang terbentuk karena telah dilakukan sebuah aktivitas secara berulang. 

Begitu pula dengan empati. Bakat empati yang ada pada kita semenjak lahir, harus diasah. Perlu dilatih. 

Empati Kita Membutuhkan Latihan. 

Pada dasarnya, setiap individu mempunyai bakat empati semenjak lahir. Bahkan sebelum individu menyadari secara penuh keberadaan diri sendiri dalam lingkungannya. Seseorang telah mempunyai kemampuan berempati kepada sesama. 

Sejurus dengan proses pertumbuhan kita, empati dapat kita latih. Latihan berempati semenjak kecil akan menumbuhkan aktivitas altruisme. Kapasitas empati seseorang akan semakin bertumbuh bila terlatih. 

Kapasitas empati sangat berkaitan pula dengan kemampuan kita membaca perasaan orang lain. Pada beberapa orang yang belum mampu mengungkapkan emosi yang dirasakannya secara verbal, mereka menggunakan komunikasi non verbal. 

Kita dapat merasakan emosi seseorang dari gestur tubuh, intonasi atau nada bicaranya, ataupun mimik muka; ekspresi lawan bicara kita. 

Kemampuan mengenali emosi kita akan membuat kita terbiasa peka membaca perasaan orang lain. Kemampuan kita membaca perasaan akan membantu otak emosi kita berlatih menduplikasi aktivitas otak emosi orang lain. 

Dalam bertukar pesan singkat, pada umumnya seseorang akan menggunakan imajinasinya. Seseorang akan membayangkan bagaimana bila diri mereka sendiri berada pada kondisi yang sama dengan lawan bicaranya. Imajinasi inilah yang kemudian diolah menjadi persepsi. 

Aktivitas otak superior temporal sulcus pada saat seseorang melakukan perilaku empati kognitif menghubungkan dengan perilaku altruisme. Pada bagian otak inilah yang berperan penting -tanpa meninggalkan fungsi penting bagian otak lain- dalam aktivitas bersosial kita. 

Acapkali, dalam budaya pengasuhan, kita seringkali masih menggunakan pola indoktrinasi. Ini bukan pilihan yang salah. Hanya saja pengasuhan dengan metode indoktrinasi demi pembentukan empati dinilai kurang efektif. 

Sebagian besar dari kita memiliki empati semenjak lahir. Namun, empati perlu dilatih. Dibiasakan. Sehingga tanpa diminta pun kita telah terbiasa berempati. 

Berlatih memisahkan kepentingan privat dengan kepentingan umum. Berlatih mengenal emosi kita. Berlatih membaca emosi orang lain sehingga lebih mudah bagi kita untuk ikut merasakan apa yang orang lain rasakan. 

Berlatih menggunakan neuron cermin yang ada pada kita. Yaitu bagian dalam struktur otak yang aktif saat kita melakukan imitasi emosi orang lain. 

Dengan kemampuan merasakan emosi tersebut, bila diperlukan, kita dengan spontan akan tergerak untuk menolong orang tersebut. Berlatih memahami perasaan orang lain tanpa harus kebablasan melanggar privasi orang tersebut. 

Selamat berlatih, selamat berempati. Sampai jumpa di artikel saya berikutnya. 

Salam sehat, salam sadar. 

Penulis

*Sumber : 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun