Secangkir kecil kopi hitam di atas meja makan kusesap sedikit. Pekatnya membuatku semakin memburu isi cangkir kecil itu. Nasi goreng kiriman Mpok Romlah, anak Haji Nasrin, masih tergeletak di atas meja. Entah kesambet malaikat mana Mpok Romlah. Sang kembang kampung. Setiap pagi ia selalu mengirim sarapan untuk kami, aku dan adikku.
Tadinya kupikir karena aku pintar dan lumayan ganteng. Ternyata tidak. Kemarin ayam tetangga mati demi melihatku mengambil telurnya.Â
Semula, kupikir Romlah hanya merasa kasihan pada nasib kami berdua. Ya, saat itu kami, aku dan adikku harus menahan lapar satu setengah hari. Uang tabunganku habis untuk membayar kontrakan rumah yang harus kami lunasi 3 bulan di depan.
"Ini Bang. Kata Abah, buat sarapan Abang ama adek Abang, " serantang nasi uduk pun kami terima kala itu. Rasanya bak roti dari surga.
Kalian tahu? Suara lembut Romlah selalu membuat sensor otakku bergegas menghimpun segala data masa lalu. Seketika aku membeku. Bodoh. Suara Romlah benar-benar seperti kain sutera Emak. Ya, kain ungu muda yang selalu disimpannya rapi di dalam lemari kayu.Â
Ah, sudahlah.Â
Hidup dengan bergantung dari upah menulis cerpen di media lokal emang ga bisa nambahin duit buat si adek kuliah. So, aku banting setir dari mahasiswa menjadi peracik cerita plus driver ojek Pasar Rebo.Â
Kadang aku juga menerima tawaran mahasiswa kekinian yang hanya mau menyandang status mahasiswa tanpa mau ribet soal skripsi. Ya, itung-itung aku ikut kuliah sekaligus dibayar. Bukankah ini semacam kuliah di kampus kedinasan? Lumayan.
Asal kalian tahu, meski cinta adikku setengah hati, setengah mati aku rela ngejabanin agar mimpinya bisa kelar hingga ke langit mana pun.
***
Jakarta, jam 16:38 waktu setempat.Â