"Our connection determines our future"Â (Ps. Jefri Rahmat)Â
Welcome in the midle of Februari... Bulan pinky, bulan coklat, bulan kasih, bulan apa pun boleh-lah asal jangan jadi bulan-bulanan. Hehehe.Â
Begitupun di atas rak etalase supermarket atau retail makanan sudah dipastikan riuh penuh keping-keping coklat yang bikin kepingin. Ya, sepasti pohon pinus menjelang Natal.Â
Kalau kita membincangkan topik cinta, serasa dawai selaut, angkasa jadi kertasnya, dan tiap batang pohon sebagai pena, tapi entah mengapa semua tak akan cukup menampung tema satu ini.Â
Tidak dapat kita pungkiri pada kenyataannya pandemi covid-19 banyak memberikan dampak bagi keharmonisan hubungan kita dengan pasangan.
Baiklah. Kali ini kita bakal ngubrulin topik paling digemari sepanjang musim bahtera cinta pasangan sejoli semesta.Â
Oh, tapi tidak menutup kemungkinan juga bagi yang pacaran pun bertunangan, atau sedang menyandang status jomlo harapan bangsa. Take it easy, kita satu klan, Saudara.Â
Maraknya konten-konten di media sosial yang mengangkat topik mental health dengan tema "aku dan pasanganku" menunjukkan kebutuhan masyarakat akan jawaban permasalahan merawat relasi dengan pasangan kita masing-masing.Â
Bahkan kata toxic banyak diucapkan hanya untuk menyatakan sifat atau karakter seseorang; atau sebuah kondisi dalam lingkup sosial dirasa tidak nyaman.Â
Pada dasarnya, tidak ada diagnosis khusus secara medis yang menyatakan tentang toxic people. Hanya saja ada beberapa sifat atau kondisi yang kemudian dilegalkan secara umum sebagai "toxic".
Lho trus apa sih yang dimaksud toxic itu?Â