Serasa ingin meledak bila berhadapan dengan tantrum anak. Atau tetiba lelah dan menyerah menghadapi anak yang mager bila disuruh belajar.Â
Mungkin bagi beberapa orangtua yang belum dewasa secara mental, kemudian terbiasa menghardik atau memberi hukuman bila anak sedang tantrum.Â
Ada kalanya kita pun termasuk sebagai orangtua yang mempunyai trauma pengalaman tidak nyaman di masa kecil. Kemudian karena tidak ingin anak kita mengalami hal yang kita anggap tidak nyaman untuk mereka, maka kita berupaya memenuhi semua keinginan mereka.Â
Tanpa sadar, kita menolak kondisi diri kita dengan mencoba memaksakan apa yang menjadi keinginan kita kepada anak.Â
Contohnya, "saya tidak ingin anak saya kudet seperti saya dulu, maka saya akan memberi fasilitas apa pun pada mereka."
"Dulu, saya makan aja ga bisa rutin. Semua harus dijatah. Sekarang, saya tidak akan membiarkan anak saya tidak bisa menikmati makanan yang sedang trending."
Beberapa orangtua --mungkin kita termasuk di dalamnya-- memproyeksikan pengalaman yang tidak nyaman di masa kecil sebagai sesuatu yang negatif pada diri kita. Sehingga tanpa sadar, kita menggunakan apa yang di luar diri kita sebagai sebuah proyeksi. Tanpa terkecuali, anak-anak.
Okay. Now, pernahkah Anda mendengar topik reparenting? Ya, beberapa tahun terakhir ini tema yang menyangkut reparenting memang sedang santer dibincangkan. Baik di kalangan orangtua maupun di dunia kesehatan mental.
Reparenting bukan sebuah gerakan untuk menyalahkan pola asuh orangtua kita terdahulu. Namun, lebih dari itu. Ada self love, rasa welas asih yang perlu kita tengok dalam diri kecil kita. Inner child kita.Â
Banyak orang yang tergesa ingin membereskan "urusan" dengan innerchild mereka yang sedang sakit. Padahal reparenting bukan hanya sekadar berurusan dengan mindfulness atau sekadar mengadakan meditasi.Â