Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Perawan Maria [Natal Pertama]

24 Desember 2021   21:04 Diperbarui: 26 Desember 2021   04:53 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hanya ada tanah sepetak di belakang rumah," sahut lelaki tua berjenggot tipis. Tentu saja dengan sedikit tergesa. "Akan kutunjukkan bila kalian suka," lanjutnya. 

Suamiku menoleh lalu tersenyum padaku. Setidaknya ada guratan lega dari raut muka imam yang selama ini menaungiku dengan kasihnya. Paling tidak, ada kabar baik untuk kami berdua setelah letih berkelana dari kampung halaman sepupuku. 

Tanpa ragu, suamiku mengikuti langkah pria tua pemilik penginapan. Sedang aku mengikuti mereka dari belakang. Sembari mengelus pelan perutku yang terasa mulas semenjak memasuki kota gandum ini. 

Malam semakin terasa dingin. Aku masih duduk meregang letih. Sekian hari lamanya kami berdua harus menempuh perjalanan jauh. Mungkin sejauh berpuluh-puluh mil panjangnya perjalanan kami. 

Dari kejauhan, sambil menunggu suamiku menata sebuah gubug dengan dedaunan dingin yang mengering. Sementara punggungku mulai terasa berat. Janin yang ada di perutku sesekali bergerak. Dan rasa mulas ini semakin lama semakin sering. 

Yang aku tahu, kandungan ku telah matang hari. Mungkin ini saatnya aku melahirkan. Di gubug ini, di tengah badai angin kencang yang meniupi kami. 

Ah, itu pun cukuplah... 

Setelah kami berdua melewati masa yang tidak mudah. Kami berdua sempat berada di ambang perpisahan. Dan aku pun tak mungkin berharap terlalu banyak. 

Jelas aku masih mengingatnya. Kejadian berbulan yang lampau. Di tengah kekalutanku. Di saat aku bersama bayi dalam rahimku ini harus bertahan dari gunjingan orang. Di kala menerima anugerah telah dinilai sebagai kebodohan. 

"Najis!" Itu seruan yang paling sering kudengar. 

"Oh, sebentar lagi mungkin ada yang akan menerima rajam," bisik mulai menelisik ruang telingaku. Terasa begitu menyesakkan batin. 

Apakah ini mudah? Tidak! 

Ini bukan seperti dongeng buatan para penyair. Ini bukan drama yang dipentaskan di hadapan Sang Kaisar. Bukan. 

Ini sebuah ketakutan. 

Aku hanya manusia biasa. Mengandung anak pada saat bertunangan adalah hal yang memalukan. Semua orang tahu ini melanggar norma, aturan, adat, dan kebenaran yang senantiasa didendangkan semenjak aku kecil. 

Tetapi, apakah mereka percaya bahwa aku hamil karena sebuah amanat? Apakah mereka akan percaya bahwa kehamilanku bukan karena tindak asusila? 

Bukankah selama ini mereka yang mencibir itu tahu bahwa aku senantiasa menjaga diriku bersih? Menjaga kelakuanku benar? 

Tetapi, sudahlah. Aku memutuskan untuk menerima titah agung ini. Segala caci atau mungkin hukuman mati, aku tidak akan peduli.

Kehinaan ini tak akan sebanding dengan kasih yang kuterima, yang akan mereka terima, yang akan diterima semua manusia. 

Itu cukup bagiku. 

Satu yang aku tahu, Sang Agung Pemilik Semesta, tidak pernah membiarkan aku bernestapa. 

Bahkan ketika aku mendengar tunanganku ingin menceraikan aku dengan diam-diam, aku pun tak mampu mencegahnya. Ia berhak melakukannya. Toh anak ini bukan buah dagingnya. Salah apa dia? 

Tapi, tidak! Ia adalah lelaki yang mampu menjaga kehormatan wanita. Ia yang sekian mil mau berjalan dalam kehidupanku. Bersamaku. Ia adalah tangan kepercayaan Tuhan bagiku. 

Itu cukuplah bagiku. 

Dan bayi yang lahir ini, andai saja kau di sini. Andai saja kau tahu bayi yang begitu mungil ini. 

Aku mungkin tak bisa merayakan hari lahirnya dengan mewah. Aku hanya wanita sederhana. 

Suamiku tidak cukup kaya untuk menyewa atau memesan kamar mewah setara ruang VVIP atau hotel mewah bintang lima. Tidak. 

Lihat, bayi ini memang berbaring di palungan. Hanya tempat air minum ternak yang mungkin juga penuh air liur domba dan ternak lain si pemilik tempat ini. 

Bayiku telah lahir. Di sini. Tempat yang jauh dari kata layak. Ia tertidur pulas dalam balutan kain lampin yang khusus kubawa, sama seperti yang dikatakan penubuat itu. 

Bila saja kau melihatnya... Tertidur begitu manis dalam kehangatan lampin dan tumpukan jerami kering. 

Ini lebih dari cukup bagiku. Bertemu Sang Imanuel. 

Cukuplah bagiku. 

.... 

*Solo.... saat Noel menjadi bermakna dalam balutan hangat lampin kesederhanaan, dan palungan kasih yang meneduhkan. 

"Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" — yang berarti: Allah menyertai kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun