Hai, Kawan...Â
Ketemu lagi di tahun yang baru. Setelah dua minggu menjalani hari-hari, adakah yang baru? Adakah yang berbeda?Â
Syukurlah bila ada perubahan. Semoga menuju pertumbuhan ya? Kalau masih harus bertahan, itu pun usaha yang luar biasa di masa yang serba tidak pasti ini.Â
Hmm, ya. Kali ini ruangan sehat mental saya kembali diketuk oleh sebuah warta tentang artis tanah air yang terciduk gegara penggunaan narkoba.Â
Mungkin berita seperti ini bukan kabar anyar di telinga kita. Bak langit malam berhias bintang dan rembulan, begitulah dunia entertainment dan narkoba. Memang sangat disayangkan. Tapi, bagaimanapun juga faktanya memang demikian, bukan?Â
Okay, ga usah banyak kalimat lead ya? Let's check it up.Â
Saya ingin mengapresiasi upaya host dan pelawak kondang kita Abdel yang mampu mentas dari dunia narkoba. Sebab tidak mudah keluar dari dunia gelap tersebut.Â
Jangankan narkoba. Keluar dari segala hal yang bersifat adiktif bukan perkara gampang, bukan?Â
Kecanduan game online, misalnya. Atau kecanduan alkohol. Atau kecanduan berbelanja. Yap, there're so many kindda addiction (izinkan saya menggunakan frasa ini terlebih dahulu).Â
Okay, sekarang mari kita sedikit menyenggol soal adiksi. Kita akan belajar bersama tentang adiksi yang beberapa waktu belakangan ini menjadi bahan ulasan di kalangan para ahli. Â
Sebenarnya Apa yang Disebut Perilaku Adiktif?Â
Sebelum kita kupas lebih tuntas soal adiksi, yuk kita lihat dari sisi definisinya.Â
Pada perkembangannya, parameter pendefinisian adiksi telah mengalami perubahan. Beberapa istilah dalam psikologi mengalami peninjauan ulang.Â
Seperti halnya penggunaan kata addiction telah direposisi menjadi Substance Use Disorder. Mohon maaf saya gunakan bahasa asing ini, Saudara.Â
Alasan digantikannya adiksi dengan SUD salah satunya mengarah pada upaya untuk menghilangkan stigma yang melekat pada kata adiksi.Â
Beberapa ahli sepakat, ketika kita menggunakan istilah adiksi akan cenderung memberi beban pelemahan mental kepada mereka yang berperilaku adiktif.Â
Penggunaan kata adiksi lebih cenderung merendahkan individu dengan perilaku adiksi. Memberikan stigma negatif, seolah kita memposisikan diri kita sebagai manusia dan mereka sebagai pribadi yang (mohon maaf) "hampir" manusia.Â
Dalam kitab DSM-5, ada beberapa batasan yang secara umum dapat kita kategorikan sebagai perilaku adiksi.Â
Adiksi merupakan perilaku yang bersifat kompulsif. Ada perasaan cemas yang direspon dengan tindakan repetitif, tindakan berulang. Dan bila tindakan tersebut tidak dilakukan maka akan mendatangkan kecemasan.Â
Mengapa demikian? Karena usai melakukan tindakan adiktif tersebut maka akan datang rewarding effect. Nah apalagi nih, hehehe.Â
Ada efek "menggembirakan" atau "menyenangkan" seusai melakukan aktivitas tersebut. Â
Sekalipun individu berperilaku adiksi sadar akan ada konsekuensi negatif dalam keseharian, individu yang bersangkutan tetap saja melakukan aktivitas adiksi tersebut.
Ada kemungkinan seseorang dengan perilaku adiktif mencoba untuk keluar dan berhenti dari perilaku tersebut. Tetapi ia tidak mampu melakukannya.Â
Kenapa? Okay, kita coba tilik yuk, apa yang terjadi pada tubuh kita, lebih tepatnya otak kita saat terjerat kecanduan?Â
Di area otak tengah ada hipotalamus sebagai penghasil dopamin (hormon penyusun rasa gembira). Nah, saat dopamin dalam tubuh kita naik dengan cepat, maka secara alamiah kita akan melakukan perilaku repetitif.Â
Kabar buruknya, durasi melonjaknya dopamin dalam tubuh kita sangat cepat. Sama seperti saat artikel kita didapuk gelar headline. Pasti kita akan merasa gembira; senang. Namun, perasaan senang tersebut tidak akan bertahan lama.Â
Kabar baiknya, dopamin hadir untuk membuat kita merasa "enak". Meskipun, selang beberapa waktu, rasa senang tersebut semakin lama akan semakin berkurang. Nah, seperti itulah cara kerja dopamin. Sangat cepat.Â
Bagi yang rentan, kondisi ini akan memicu mereka untuk terus mendapatkan sensasi rasa gembira tersebut.Â
Ada beberapa alasan mengapa seseorang terjebak dalam perilaku adiksi.
Beberapa alasan tersebut antara lain:
- Mereka yang hanya ingin merasakan kesenangan meskipun tidak sedang dalam kondisi tertekan.Â
- Mereka yang ingin merasakan kesenangan karena sedang dalam kondisi tertekan. Biasanya adiksi dilakukan sebagai pengalih rasa tidak nyaman akibat tekanan.Â
- Mereka yang ingin senantiasa produktif tanpa kenal lelah dengan menggunakan stimulan obat-obatan tertentu.Â
- Mereka yang penasaran karena adanya stigma yang menjangkiti diri mereka sendiri. Seperti halnya pengaruh dari teman sekitar untuk menggunakan zat-zat adiktif.
Trus, adakah cara bagi kita untuk melepaskan diri dari kecanduan ini?Â
Sebenarnya, pergi berkonsultasi kepada ahli kejiwaan seperti psikolog atau psikiater akan sangat membantu. Kita dapat mengerti dengan benar apa yang sedang kita hadapi. Selanjutnya, kita akan mendapat treatment yang tepat untuk menghentikan perilaku adiksi ini.Â
Akan tetapi, setidaknya ada 3 cara yang dapat kita lakukan untuk melonggarkan diri dari kecanduan.Â
Hubungan pertemanan yang sehat akan membantu dan mendukung kita menjalani hidup bertumbuh dengan lebih sehat. Sama seperti apa yang diakui Abdel. Mamah Dedeh dan kegiatan dakwahnya membangun Abdel untuk semakin bertumbuh.Â
Akan tetapi, kita mungkin tidak seberuntung Abdel. Mungkin, kita sendirilah yang harus reach out, mencari pertolongan. Mungkin sudah saatnya kesadaran tersebut tumbuh tanpa butuh disuruh.Â
Saya setuju dengan salah satu Guru yang pernah mengajarkan kepada saya untuk berwelas asih pada diri sendiri.Â
Pertama, kita dapat melepaskan diri dari stigma tentang kecanduan. Ya, mari belajar bahwa kecanduan merupakan usaha manusia untuk beradaptasi dengan situasi yang sulit, dengan mau menerima resiko sakit dan kegelisahan. Bukan sebagai sarana untuk merendahkan orang lain.Â
Kedua, kita membutuhkan dorongan atau motivasi dari diri sendiri. Apa yang akan kita dapatkan apabila kita berhenti melakukan perilaku kecanduan tersebut.Â
Dalam upaya berhenti, pasti akan ada rasa kehilangan, rasa sakit, atau rasa tidak enak. Ini terjadi karena kita memutus hubungan dengan "sarana" yang mendatangkan kesenangan tersebut.Â
Ketiga, kita membutuhkan "sarana" lain sebagai substitusi dari "sarana" yang kita hilangkan. Tentunya substitusi tersebut merupakan aktivitas yang lebih sehat. Misalkan, menghabiskan waktu dengan hewan kesayangan, atau gardening, atau menulis, atau aktivitas yang lain.Â
Ini dilakukan supaya kita masih dapat merasakan sensasi "pleasure" selama "sarana" yang tidak sehat tersebut kita longgarkan.Â
Karena tidak cukup bagi diri kita untuk berhenti saja. Adalah lebih bijak apabila kita mampu berhenti dari perilaku adiksi, namun senantiasa bertumbuh dan tetap produktif.
Demikian dari saya, selamat melonggarkan diri dari perilaku adiktif.Â
Jangan lupa: Don't do self diagnose! Apabila didapati kemiripan gejala, segera konsultasikan pada ahli kesehatan terkait.Â
Salam sehat, salam sadar
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H