Sore yang dipenuhi air hujan. Itulah November kami di Solo akhir-akhir ini. Nelat yha, hujan datang di kota ini? Terkadang kami dikepung air langit, terkadang beberapa hari langit kami hanya digelayuti mendung. Hanya berawan.
Ya, semua yang menyoal hujan. Bukan hanya kuyup usai pulang kantor. Bukan....
Ada memori yang pun muncul begitu saja. Ada genangan kenangan (ingatkan saya ini bukan fiksi, yha...) yang menghuni ruang hipokampus, otak bagian dalam kita.
Ya, termasuk ingatan kecil saya pada anjing rumahan yang pernah saya miliki. Waktu saya kecil, saya tinggal dengan Kakung dan Uti di Sragen. Kami mempunyai seekor anjing yang begitu penurut. Saya memberinya nama Dino. Hanya jenis anjing kampung biasa.
Setiap kali kami bepergian, Dino selalu setia menunggu kami pulang. Saya suka sekali saat ekornya dikibas-kibaskan, seraya berlari ke sana ke mari bila kami pulang.
Bercanda dengannya sudah menjadi bagian dalam keseharian kami. Tentu saja, Dino telah menjadi bagian dari keluarga kami.
Hingga suatu ketika, entah karena alasan apa, Dino pulang dari petualangannya --karena kami tidak ingin mengikat dan mengurungnya di rumah-- dengan sempoyongan. Mulutnya penuh dengan busa. Kakinya bergetar. Lalu tetiba Dino tak lagi mampu berdiri.
Saya ingat bagaimana Kakung berusaha mencari kelapa muda untuk menetralisir racun dari tubuh Dino.
Tapi, usaha tersebut sia-sia. Ya, kami harus melihatnya tersiksa dan meregang nyawanya.
Kecintaan keluarga saya pada anjing tak surut begitu saja. Ada 4 anjing yang sengaja kami pelihara secara berurut setelah kami kehilangan Dino. Namun, keempat anjing peliharaan kami selalu mati diracun orang.
Bagi teman-teman yang belum tahu, memelihara hewan peliharaan, entah itu kucing, anjing, tupai, iguana, whatever it is, apa pun itu, mereka hewan yang dekat bagi kita.
Bermain menghabiskan waktu, berjalan pagi bersama, mereka pun bisa menjadi teman curcol yang tak mungkin membocorkan rahasia kita. Percayalah...
Ada rasa sayang yang tak mungkin dapat digantikan. Terdengar berlebihan? Ya memang begitulah adanya.
Maka ketika saya kehilangan mereka, rasanya akan begitu menyesakkan. Usai kehilangan hewan peliharaan 4 kali berturut-turut dengan cara yang sama, saya sendiri memutuskan untuk tidak memelihara hewan peliharaan lagi.
Kecewa? Sedih? Marah? Tentu saja!
Rasa kehilangan ini begitu nyata. Begitu pula emosi yang saya rasakan.
Apa pun bentuknya, kehilangan merupakan fase kita berpisah dari "sesuatu" yang berharga. Persahabatan, persaudaraan, relasi apa pun wujudnya tetaplah sebuah perpisahan.
Yuk, kenali lima tahapan duka karena kehilangan
Adalah sebuah buku On Death and Dying, ditulis oleh seorang psikiater Amerika, Elisabeth Kubler-Ross yang mulai dirilis pertama kalinya pada tahun 1969.
Dalam bukunya tersebut Kubler Ross mencoba menguraikan lima tahap sedih karena kehilangan. Tentu saja, tidak semua orang akan mengalami fase-fase yang sama.
1. DENIAL. Pada tahap ini seseorang akan menolak atau menyangkal emosi dan rasa tidak nyaman yang dirasakan. Upaya ini dilakukan sebagai usaha melindungi diri sendiri dari rasa sakit atas peristiwa yang terjadi. Seolah peristiwa tersebut tidak benar-benar sedang terjadi.
"Ah, ini cuman sedih biasa kok. Besok juga hilang"
"Emh, engga kok. Shiro engga ilang. Besok anjing itu pasti pulang,"
2. ANGER. Dalam fase ini, ada kemarahan yang timbul dalam diri seseorang. Adakalanya, kemarahan tersebut dilampiaskan pada objek yang meninggalkan. Apa pun itu.
Ketika marah ini reda, maka kita akan dapat berpikir lebih rasional. Dan merasakan emosi yang telah kita tepikan pada waktu marah tersebut muncul.
"Oh, aku benar-benar kesal! Kok bisa-bisanya tupai itu lari!"
"Kenapa siiih, doggy-nya engga aku rantai aja di rumah? Kan aman"
3. BARGAINING. Fuiiih... Ini bukan berarti tawar menawar harga gitu ya, Kisanak...
Pada fase ini seseorang yang sedang kehilangan akan berandai-andai. Yups, betul banget! Di sini akan muncul pertanyaan-pertanyaan berandai-andai.
Pernyataan "what if" yang menggantung. Jika saja aku begini, bila saja dia begitu, andai saja iguanaku begini dan begitu.
4. DEPRESSION. Yang terjadi di sini seseorang akan merasa bingung. Tidak sama seperti pada fase sebelumnya. Pada fase ini seseorang tidak menunjukkan reaksi aktif sama seperti fase sebelumnya. Seseorang akan lebih banyak diam. Diam karena merasa hancur hidupnya. Tidak ada harapan.
Ada perasaan helpless, tidak ada pertolongan. Seseorang mungkin akan mengalami insomnia, kehilangan nafsu makan, bahkan dalam beberapa kasus muncul keinginan untuk bunuh diri.
Kehilangan hewan kesayangan, bisa jadi stimulan bunuh diri? Memang jarang terjadi. Tapi, bukan berarti tidak pernah terjadi, bukan?
5. ACCEPTANCE. Penerimaan. Yaktul! Bila fase ini terjadi, individu akan menyadari bahwa peristiwa yang terjadi memang nyata. Kedukaan yang ada mulai diterima.
Pada tahap ini, seseorang akan menyadari dan memaknai peristiwa kehilangan yang terjadi.
Okay. Kelima tahap tersebut ditujukan supaya kita mampu mengidentifikasi diri saat kedukaan kehilangan itu terjadi.
Namun demikian, tidak setiap individu yang mengalami kedukaan akan menjalani tahapan yang sama. Setiap orang mempunyai coping, cara mengatasi masalah yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Lhah tapi kan ini hanya masalah kehilangan hewan. Masa sih bisa trauma?
Waduh, trauma bisa disebabkan oleh banyak faktor, Saudara. Sekecil apa pun peristiwa kedukaan, mampu menjadi stimulan bagi seseorang mengalami trauma.
Trauma tidak harus berawal dari peristiwa "besar" seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, perampokan, pembunuhan, bencana alam, atau peristiwa besar lainnya.
Trus, gimana nih enaknya kalau kondisi seperti ini?
Kay, paling tidak ada 5 alternatif yang dapat kita lakukan pada masa duka.
1. Cobalah untuk mengenali emosi apa yang sedang terjadi. Sedih, jengkel, marah, takut, rasa bersalah, atau kita sedang kecewa? Tidak perlu terburu memaknai sebuah peristiwa. Kenali saja emosi kita. Tak usah bertanya mengapa begini, mengapa begitu. Mari, kita memvalidasi emosi kita.
2. Mengenali semua tahapan kedukaan sebagai salah satu cara kita untuk mengatasi "kebingungan", sehingga kita tahu benar, apa yang sedang terjadi dalam diri kita. Bukan berarti kita self diagnose lho ya... Ini berbeda.
3. Mencoba merawat diri dengan melakukan aktivitas lain. Aksi diatraksi sehat sangat disarankan. Misalnya, mulai membaca, menulis, berolahraga, yoga, meditasi, berkebun, bekerja, ya, do something.
4. Menghubungi teman atau komunitas, agar dapat berbagi rasa. Ini penting. Paling tidak, ada yang tahu apa yang sedang kita rasakan. Namun, bukan berarti kita membombardir emosi yang berakibat orang lain menjadi illfeel lantas menjauh dari kita.
5. Hubungi para ahli kesehatan yang terkait bila memang dampak kedukaan masih terus-menerus menghinggapi dan menimbulkan rasa tidak nyaman dalam keseharian kita.
Well, seperti Kubler-Ross pun mengulas bahwa terkadang ada beberapa orang yang dapat keluar dari masa duka akibat kehilangan tanpa harus melewati kelima tahapan tersebut.
Saya akan menutup artikel ini dengan sedikit kutipan dari Kubler-Ross.
"They are responses to loss that many people have, but there is not a typical response to loss, as there is no typical loss. Our grieving is as individual as our lives.”
Salam sehat, salam sadar
Sumber:
Kübler-Ross, E. (1997).
On death and dying. New York:
Scribner
American Psychological Association (APA).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H