"Beauty is a state of mind, not a state of body"
Ya, kalimat itulah yang pertama kali melintas dalam ubun-ubun saya ketika membaca, lalu melihat Adele berbincang tentang transformasi fisiknya di salah satu program acara Oprah Winfrey.Â
Mungkin sebagian kita dibuat takjub betapa perubahan penampilan penyanyi yang menggaungkan lagu-lagu galau malilau tersebut kini berubah seperti aksi magic illsionist.Â
Ternyata bukan hanya All I Ask, Â Someone Like You, Hometown Glory, Already Gone, Stone Cold, atau seromantis lagu Make You Feel My Love yang nangkring di rak digital saya. Lebih dari itu, yang membuat saya jatuh hati pada mommy single parent ini adalah perjuangannya untuk bangkit. Meraih mimpi.Â
Saya sempat mengikuti perkembangan transformasi fisiknya yang mencengangkan. Betapa tidak! Berat badan penyanyi yang kini melejit dengan singlenya Easy On Me berhasil menurunkan berat badannya lebih dari 45 kg.Â
Salah satu yang menarik dari perjalanan karirnya yang paling gres akhir-akhir ini adalah proses dalam penurunan berat badan yang jelas bukan perkara mudah.Â
Sempat menyebut self love yang menjadi dasar dari transformasi fisik tersebut, Adele sungguh menghidupi makna body positivity bukan hanya sebagai aksi merubah diri demi tuntutan orang lain.Â
Okay, kalo gitu, apa sih yang dibilang body positivity?Â
Membaca kembali satu buku tulisan Luh Ayu Saraswati, "Seeing Beauty Sensing Race in Traditional Indonesia" (2013) sungguh mengubah pemikiran saya tentang standarisasi cantik dalam wacana masyarakat kita selama ini.Â
Dalam budaya kita, ada norma-norma tak tertulis yang menjadi standar kecantikan seseorang.Â
Pada jaman dahulu standarisasi cantik hanya merujuk pada sistem yang menyentuh dimensi warnaisme. Setelah Belanda dan Jepang masuk ke nusantara, maka standar cantik bukan hanya menyentuh dimensi warna.Â