Ada apa (lagi) dengan Reynhard Sinaga? Ya, selintas pertanyaan itulah yang muncul dalam batok kepala saya saat notifikasi BBC muncul di ujung kiri atas HP saya.Â
Siapa yang tak mengenal RS kala itu? Berita kasus predator tersebut begitu viral menjadi gunjingan massa. Mulai dari diskusi via media massa hingga kolong percakapan privat.Â
Betapa rasa cemas menggurat di balik kenyamanan dan keamanan masyarakat Manchester yang sangat terbuka dengan LGBT.Â
Okay, saya tidak akan mengulang berita yang sempat santer tersebut. Hanya saja apa yang diungkapkan oleh Daniel, salah satu dari 48 korban perkosaan RS menyisakan pergumulan tersendiri.Â
Untuk kali ini saya ingin mengajak saudara semua untuk melihat perkosaan dari sudut pandang pelaku perkosaan. Ini bukan berarti saya mengecilkan arti penderitaan korban perkosaan. Tentu saja tidak.Â
Akan tetapi, mari kita lihat dari sisi yang lain. Masih tertarik untuk membaca artikel ini? So,.... cekidot...Â
Apa sih yang mendorong pelaku melakukan tindakan perkosaan?Â
Sebelum kita lanjutkan lagi, ada baiknya saya tegaskan di sini bahwa perkosaan bukanlah sebuah gangguan mental.Â
Bukan. Meskipun ada kemungkinan pelaku perkosaan sedang mengalami gangguan mental, namun perkosaan tetaplah sebuah tindak kejahatan.Â
Okay, bila demikian apa yang terjadi di masyarakat sehingga permasalahan klasik ini menjadi permasalahan pelik sepanjang masa? Yuk, kita intip beberapa faktor diantaranya.Â
Pertama, dari sebuah studi di India, terungkap bahwa salah satu faktor penyebab seseorang menjadi pelaku pemerkosaan adalah karena masyarakat  kurang pas, bahkan mungkin salah menyerap budaya patriarki.Â