Redup mentari mendaki pundak hari. Pagi tak sempat berucap selamat tinggal pada secangkir kopi. Dan, genangan sisa  mimpi, terjerembab gerimis sepi. Di sini. Di halte ini.
Sunyi menemani riuhnya hati yang bersenandung. Ditemani piano yang mendenting.
Menghentak!
Menyentak!Â
Menghanyutkan tepian rasa yang tak berujung.
Aku menunggu waktu, saat musim mulai meninggalkan rinai hujan yang meluruh dalam deru
Kala itu, mentari menepi, di batas denting sepi, hinggap pada sebuah dimensi, suatu ruang tanpa sisi...
Apa kau dengarkan rintihan awan yang menghujan? Kalau ia lepaskan air begitu saja di kalangan tanah kering, pecah, tanpa tuan.
Demi sebuah hidup yang tiada pernah mampu tertawan oleh gaduhnya bising suara tirani tanpa lawan
Kopimu adalah distorsi ketika uapnya merubah menjadi distraksi dalam alam monarki imaji, yang kugulati di halte ini
Bus kota sudah lewat. Hujan belum reda. Kuseduh kembali kopi dan menanti bus selanjutnya. Kupastikan beranjak sebelum tumbuh jerawat. Menikmati penantian tanpa arah tujuan. "Sayang, aku lelah bertualang."
Halte ini kembali sepi, seperti kopi pertama malam ini. Hitam pekat, gelap pada malam yang tak sempat berjabat. Seperti siluet yang melukis pelukan untuk saling berpamitan.
Pisah. Dalam desah yang tak tersampaikan. Peluh dalam keluh. Lalu menghilang dalam ingatan. Membuai lalu menghilang dalam lamunan. Sepi lagi, berulang seperti penantian yang tak terkabarkan. Ah..semua tentang kehilangan.
Andai aku iblis, kan kucipta semua yang bikin tangis. Andai aku Dewa, takkan kucipta semua yang bikin luka. Agar kau tahu kopi ini nikmat. Dan Rindu ini semakin dahsyat