"Eh... cup, cup, cup... udah ga usah nangis, lihat itu ada burung... Tuh ada cicak... lihat, lihat..."
"Itu ga sakit kok, masak anak cowok nangis"
Sudah sering kedengaran di telinga kita, bukan?Â
Alih-alih memvalidasi emosi dengan benar, orang tua seringkali lebih memilih melenyapkan rasa sedih; menggantikannya dengan objek lain.Â
Kay, sekilas sepertinya sentuhan afirmasi tersebut cukup mewakili rasa sayang kita yah, saudara? Hmmm, bagaimana bila ini dilakukan terus menerus?Â
Yang terjadi adalah repetisi atau pengulangan aktivitas yang kemudian dipelajari, lalu disimpan rapat sebagai pola pikir yang terbentuk semenjak kecil di alam bawah sadar.Â
Dari sebuah penelitian dikatakan bahwa 95 % aktivitas yang kita lakukan, didasarkan pada apa yang tersimpan di alam bawah sadar kita.Â
Dengan demikian seseorang akan cenderung membawa pengalaman masa kecil yang tersimpan di alam bawah sadar, diterjemahkan menjadi kebiasaan dalam pertumbuhan karakternya di masa usia dewasa.Â
Dampak Toxic Positivity Bagi Perkembangan Kogitif Anak
Kebiasaan mengesampingkan emosi takut, marah, sedih, dan emosi lain yang dianggap mendatangkan efek tidak nyaman bagi seseorang akan membuat seseorang tersebut tidak dapat mengenali emosi dalam dirinya.Â
Lebih dalam lagi, seorang psikolog anak Jean Piaget memperkenalkan beberapa tahap perkembangan kognitif anak.Â
Salah satu tahapan tersebut adalah masa pra operasional (usia 2-7 tahun), yaitu saat di mana anak-anak mengembangkan mental lewat pembelajaran pengalaman mereka.Â