Banyak pula para pemerhati kesehatan mental seringkali terjebak dalam romansa "positive vibes only".
Tapi, bukankah itu biasa? Kedengarannya sangat membangunkan jiwa lho. Iyha ga?Iyha ga?Â
Sebentar, kawan... Izinkan saya membuka artikel ini dengan sepiring kecil pemahaman tentang toxic positivity.Â
Apa siiih itu? Yang namanya positif kok beracun?Â
Weladalah, apa panjenengan belum pernah mendengar ada seorang yang ahli di bidang toksikologi, bernama Paracelsus pernah berucap,
"sola dosis facit venenum"
Kurang lebih maksud beliau itu bahwa segala sesuatu adalah beracun dan tidak ada yang tidak beracun; hanya dengan takaran sajalah yang membuatnya tidak beracun.Â
Toxic positivity adalah sebuah keyakinan untuk mempertahankan pola pikir positif, dengan mengabaikan emosi lain dan hanya memvalidasi perasaan yang mendatangkan rasa gembira.Â
So, simple-nya gini nih, gengz....Â
Rasa duka datang dalam kehidupan kita sama random-nya dengan rasa gembira dan senang. Â Begitu pula dengan rasa takut dan jijik.Â
Beberapa ahli berusaha membagi emosi menjadi emosi negatif dan positif berdasarkan pada seberapa jauh emosi tersebut memberi rasa nyaman atau tidak nyaman dalam diri kita.Â