Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perempuan Pertiwi di Pundak Birokrasi, Mungkinkah?

17 Maret 2021   18:58 Diperbarui: 18 Maret 2021   07:44 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah ketimpangan sosial dalam pemberian apresiasi terhadap prestasi perempuan Indonesia di masa kiwari memang tiada pernah habis dikupas.

Bahkan, Pemerintah mengadopsi pengarusutamaan kesetaraan gender dengan ditetapkannya Inpres No. 9 Tahun 2020. Ketetapan tersebut kemudian menjelma dan disinyalir sebagai jawaban kepedulian negara dalam mengupayakan kredo akreditasi perempuan Indonesia di mata dunia maupun dalam lingkup intern.

Namun demikian, mengutip dari laman World Economic Forum, melalui Laporan The Global Gender Gap Index 2020 menyatakan Indonesia berada pada peringkat 85 dari 153 negara dengan indeks angka 0,700 jauh di bawah Filipina yang berada di posisi 16 dunia dengan skor indeks 0,781.

Indeks skor yang stabil mengambang sejak tahun 2018 dengan gamblang menunjukkan indikasi bahwa Indonesia belum menyelesaikan PR-nya dalam memberikan konsensi bagi prestasi kaum perempuan Pertiwi di mata dunia.

Pengakuan kemampuan diplomasi politik perempuan untuk mencapai pundak birokrasi negeri ini masih terbilang rendah. Perempuan harus menelan pil pahit; harus bergelut dengan budaya patriarki, mendobrak barier serupa ketimpangan gender.

Fakta tersebut diperkuat dengan data dari BKN tahun 2019 menyebutkan jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi eselon I sebesar 0,02% dan eselon II sebanyak 0,56% dari keseluruhan total pejabat struktural. 

Sesaknya ruang jabatan tinggi kementerian yang didominasi oleh kaum adam mendefinisikan lemahnya pengakuan representasi wanita sebagai pengambil keputusan di kalangan birokrat bumi Pertiwi.

Beratnya kaki para wanita tangguh menuju kursi empuk pemimpin, nampaknya harus dibebani dengan batu sandungan yang bertebaran sepanjang jalan menuju puncak kepemimpinan birokrasi negeri.

Eratnya hubungan antara pembagian jatah politik dengan sikap patriarki nan kental rupa-rupanya masih menjadi momok bagi perempuan Indonesia untuk mendobrak atap kaca pembatas yang hingga kini masih menjadi invisible barier menuju puncak jabatan.

Indonesia mungkin negara yang dianggap lebih demokratis bila dibandingkan dengan negeri Paman Sam yang dengan tradisi politiknya mendudukkan perempuan dalam opsi terakhir setelah gender dan warna kulit. Diskriminasi yang loss dholl? Wedew....sila nilai sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun