Nah, bila Sobat ingin menukil sedjarah dari jajaran arsitektur eksotis kala itu, maka monggo masuklah ke dalam. Bersama seorang guide, kita akan dihantar hingga ke ruang-ruang pribadi pemilik Istana Mangkunegaran.
Sebelum memasuki area istana ada satu sudut di sebelah timur pamedan yang menyita perhatian saya. Sebuah bangunan lusuh bergaya arsitektur Eropa yang berkembang pada abad 19.Â
Bangunan yang terlihat kusam, pertanda kurangnya perawatan yang memadai. Namun, dibalik kontur bangunan bergaya arsitektur Indische Empire ini, pastilah tersimpan begitu banyak epos cerita tentang keperkasaan Legiun Mangkunegaran, pasukan terbaik se-Asia pada tahun 1874 silam.Â
Sesuai angka tahun yang tertera pada bagian atas bangunan tersebut, pada tahun 1874 KGPAA Mangkunegoro IV membangunnya sebagai tangsi Legiun Mangkunegaran.Â
Memasuki area dalam istana, kami ditemani seorang guide, sejenak mengagumi istana yang pernah saya gunakan sebagai setting tempat cerpen saya, "Sebutir Asmara di Linggarjati".Â
Usai mengagumi kedigdayaan monarki masa silam, akhirnya kami mengangkat kaki, berjalan menyusuri pedestrian Triwindu lebih tepatnya ke arah selatan istana. Ada apakah di sana?
Berjarak sepelempar bola salju, ada salah satu spot photo yang biasanya banyak dikunjungi kolektor asing maupun lokal yang menggandrungi barang-barang antik.
Pasar yang pada awal berdirinya hanya berupa meja dan beberapa jajanan pasar merupakan hadiah dari Gusti Nurul Kamaril Ngasarati di tahun 1939 tepat pada saat peringatan tiga windu Jumenengan Dalem, kenaikan tahta Sang Ayahanda KGPAA Mangkunegoro VII.Â
Itu mengapa pasar ini kemudian diberi julukan Triwindu, yang berarti tiga windu.