Suasana siang Solo cukup hangat saat saya mengantar anak saya yang merengek karena senar gitarnya putus digerogoti tikus.
Menuju kawasan Triwindu yang merupakan kompleks pertokoan alat musik dan olah raga, kami sempat melewati Pasar Kadipolo, yang berjarak kurleb 500 meter dari rumah kami.Â
Di situ kami bertemu dengan rombongan dari Polresta Surakarta sedang melakukan tugas patrol.  Segala upaya Pemerintah dan aparat tidak jua jemu untuk mencoba memilin probabilitas menurunkan tensi warna merah kota Solo yang memang bukanlah soal gampang.Â
Meninggalkan kerumunan pasar, kaki kami kembali melangkah menyambangi Kota Solo dengan segala keunikannya.Â
Sungguh tidak adil rasanya bila domain mimin K seluas Propinsi. Lha wong cerita tentang keunikan Solo kami yang areanya tergolong mungil saja, mungkin bisa berjilid-jilid. Apalagi wisata di Jateng, wealaaah, bisa-bisa jari ini berdenyut tak teratur seperti jantung saya saat bertemu de'e. Situ ndak percaya? Hayuk mulai dari tempat tinggal saya di Jalan Dr. Radjiman.
Let's go for a walk. Walk? Ya, jalan kaki. Lha jaraknya cuma berapa ratus meter saja kok. Naik sepeda yo nanggung, Saudaraku.
Sedikit menimbulkan efek halan-halan (baca: rekreatif), kami berjalan menyusuri city walk sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Dalam 15 menit saja kami sampai di kawasan Triwindu.Â
Kala urusan persenaran usai, kami bertandang dengan segala keisengan masuki area Kraton Mangkunegaran. Atau bagi kami, wong Solo kerap menyebutnya Puro Mangkunegaran.
Bagi yang belum tahu, Kota Solo dalam sejarahnya mempunyai dua kekuasaan monarki lokal. Tentu saja, dalam hal ini, Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat secara sosial politik mempunyai kedudukan superior dibandingkan dengan Istana Mangkunegaran.
Namun demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan Puro Mangkunegaran selalu mempunyai daya tarik tersendiri.Â