Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bystander Effect: Waspadai Ini agar Empati Tak Mati Suri

16 Januari 2021   18:18 Diperbarui: 17 Januari 2021   21:47 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : apatisme massa, matinya empati, suksesi bystander effect| via happenings.lpu.in

Usai memarkir mobil, seorang wanita berjalan menuju apartemennya. Tanpa disadarinya seorang pria yang telah lama mengintai tetiba memukul si wanita. 

Spontan di wanita berteriak meminta tolong. Sedang pria tersebut terus memukul dan memperkosa, si wanita terus berusaha berteriak meminta pertolongan dari penghuni apartemen.

Namun naas bagi sang wanita. Usai memperkosa, pria tersebut menusuk si wanita berulang kali hingga ia meninggal. Selama kejahatan tersebut berlangsung, 38 pasang mata hanya memerhatikan di balik jendela dan pintu rumah tanpa ada yang keluar menolong si wanita. 

Bagaimana menurut Sobat semua dengan kejadian tersebut? Keterlaluan betul 38 orang yang menyaksikan kejadian itu. Bagaimana mungkin mereka hanya menyaksikan saja, sementara ada kejadian memilukan di depan mereka? Mungkin itulah yang timbul dalam benak kita.

Atau apakah mungkin semua itu hanya cerita fiksi saya? Oh, sayangnya, bukan, Sobatku. 

Kisah pilu tersebut dialami oleh Kitty Genovese pada tahun 1964 di Queens, New York City, cukup mengguncang dunia, hingga kemudian duo peneliti psikologi sosial Bibb Latane dan John Darley menyebut fenomena ini dengan Bystander Effect.

Suatu fenomena di mana seseorang memilih untuk tidak melakukan tindakan apa pun atas suatu peristiwa berbahaya yang sedang terjadi di sekitarnya.

Ilustrasi : apatisme massa, matinya empati, suksesi bystander effect| via happenings.lpu.in
Ilustrasi : apatisme massa, matinya empati, suksesi bystander effect| via happenings.lpu.in

Saya merasa miris menyadari bahwa sebenarnya fenomena sosial ini jamak terjadi di sekitar kita. Bukan di kalangan orang dewasa, fenomena memudarnya rasa empati ini pun menjamah dunia anak-anak dan remaja, lho Ayah, Bunda.

Sungguh fakta yang semenjak kecil sering muncul dan menjadi pertanyaan dalam benak saya. Saat begitu banyak orang menonton, entah mengagumi atau sekadar ingin tahu sebuah peristiwa "bahaya", seperti kecelakaan lalu lintas atau peristiwa bencana alam.

Gempa Majene, Sulawesi Barat 16 Januari 2021 kemarin, misalnya. Dari beberapa media yang mengabarkan informasi ini terlihat begitu banyak orang (entah apa pun motivasinya) menonton peristiwa mengenaskan ini.

Saya jadi teringat saat massa berjejal memenuhi badan jalan di depan Pasar Legi sebagai satu-satunya pasar induk di Kota Solo yang terbakar. 

Juga peristiwa banjir pada 26 Desember 2007 yang lalu saat beberapa wilayah Solo bagian selatan, tepatnya kelurahan Jogosuran, kecamatan Serengan terendam banjir bahkan ada yang mencapai 3 meter di perumahan penduduk. 

Sewaktu para korban panik menyelamatkan diri, justru ada begitu banyak orang yang bergerombol merekam gambar dan menonton warga yang sedang kalut.

Kejadian yang hampir mirip kembali saya jumpai saat Pasar Klewer pada 27 Desember 2014 termakan ganasnya api (entah disengaja atau tidak). Selagi kebingungan mencari jalan alternatif untuk pulang, saya menyaksikan begitu banyak orang menonton di tempat kejadian.

Ya, hanya melihat dan memadati tempat kejadian, sementara berpuluh kuli pasar dan para pedagang kaki lima berjuang melawan kobaran api, menyelamatkan barang dagangan yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Tak terasa air mata saya mengalir, dada saya terasa sesak menjumpai beberapa kerabat yang di kemudian hari mengalami depresi berat akibat kejadian tersebut. 

Baiklah. Itu memang peristiwa yang cukup besar. Lalu bagaimana dengan peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari kita? 

Suatu kali pikiran saya ramai. Untuk menimbulkan efek rekreatif, saya berjalan kaki dari kantor ke rumah. Menyusuri city walk sejauh 3,5 kilometer membawa pada peristiwa-peristiwa kecil yang seringkali mendatangkan pencerahan tersendiri bagi saya pribadi.

Tiba di perempatan jalan protokol yang cukup padat lalu lintas, ada seorang ibu yang jatuh gegara sepeda bututnya tersenggol, sementara barang-barang bawaannya berceceran di badan jalan. 

Saat saya dan seorang tukang parkir mencoba menolong ibu tersebut, coba tebak apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar perempatan jalan tersebut?

Yups, tepat sekali. Mereka hanya menonton! Hingga kemudian ada seorang pengendara sepeda motor yang menghentikan kendaraannya di tengah jalan lalu turut menolong ibu yang meringis kesakitan di pinggir jalan.

Anehnya, kejadian yang hampir sama seringkali saya alami. Artinya, terjadi kecelakaan kecil di jalan, namun tidak ada rasa empati orang-orang di sekitar untuk menolong. 

Bukankah ini pun juga kadang kita jumpai ketika kita berada di habitat baru? Tempat kerja baru, sekolah baru, tempat tinggal baru, saat semua masih terasa asing. Kadang muncul rasa sungkan, bahkan enggan untuk meminta tolong. Sering timbul pertanyaan, 'lhah siapa juga yang mo nolongin. Ini kan tempat baru?'

Meskipun ada juga yang karena kebutuhan mendesak akhirnya muncul dorongan untuk meminta tolong tanpa memedulikan apakah nantinya akan tertolong atau tidak.

Faktor-Faktor Pemicu Timbulnya Bystander Effect
dampak gempa Sulawesi Barat |via instagram.com @cnnindonesia
dampak gempa Sulawesi Barat |via instagram.com @cnnindonesia

Bystander effect dapat timbul dalam diri seseorang, karena:

1. Ada begitu banyak orang di sekitar tempat kejadian. Individu akan cenderung merasa bahwa orang lainlah yang bertanggung jawab untuk menolong atau melakukan tindakan atas kejadian tersebut. Ini yang oleh para ahli seringkali disebut sebagai defusi tanggung jawab.

2. Individu takut akan reaksi negatif atau justifikasi orang-orang sekitar, bila ia melakukan tindakan pada petistiwa yang sedang berlangsung. Biasanya peristiwa ini terjadi di kalangan anak-anak dan remaja saat terjadi bullying di lingkungan sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. 

Terlebih bila terjadi bullying di sosial media, individu lebih memilih diam dari pada berinisiatif untuk memberi dukungan pada korban.

3. Individu takut terlibat lebih jauh atas peristiwa yang sedang terjadi. Fakta ini seringkali kita jumpai pada saat terjadinya tindakan KDRT dalam ranah privat. 

Seringkali, rasa pakewuh mengiringi penolakan tindakan pertolongan. Budaya pakewuh, atau sungkan inilah yang kemudian digunakan untuk melegalkan mati surinya empati.

4. Biasanya individu menunggu, apakah orang lain akan bereaksi menolong korban atau tidak. Atribusi pertolongan ditujukan pada clarity of need apakah korban benar-benar membutuhkan pertolongan atau tidak.

5. Individu menyadari akan bahaya yang mengancam bila ia melakukan tindakan pertolongan. Bahaya yang dimaksud adalah bila pelaku kejahatan bersenjata, atau korban secara mendadak mengalami kecelakaan berkaitan dengan kesehatan korban.

Cara Mengantisipasi Bystander Effect

Fuiiih, ternyata banyak juga yha penyebabnya. Mmm, kira-kira gimana nih caranya supaya kita tidak ikut larut dalam fenomena ini? Bahaya juga kan, bila rasa empati kita tergerus sikap apatis pada sesama. 

Yuks kita kulik beberapa tips yang mungkin bisa membantu Sobat semua... markicek....

1. Tumbuhkan rasa simpati dan empati semenjak dini. 

Hmm, semenjak dini, yha Bund. Semenjak kecil tuh, Ayah. Mengingat bystander effect ini juga terjadi di kalangan anak-anak, yuk mari kita urai kembali, pernah ga sih kita sisihkan untuk mengisi quality time bersama keluarga dengan membiasakan tangan anak-anak kita menyentuh kaum miskin papa.

Learning by doing akan lebih mengena bila dibandingkan dengan hanya membicarakan tentang empati kepada sesama. Tumbuhkan internal locus of control pada anak-anak semenjak dini. 

2. Tumbuhkan nilai self esteem pada diri kita, sehingga kita terbiasa untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan tanpa harus menunggu munculnya "model" maupun ke mana atribusi pertolongan kita berikan ketika diperhadapkan pada korban yang membutuhkan pertolongan.

3. Apabila menemui sebuah peristiwa yang dirasa melampaui kemampuan menolong kita hubungi pihak terkait, entah itu satpam, polisi terdekat, atau menelfon paramedis terdekat.

Bagaimana kita menyikapi sebuah kejadian yang memantik rasa empati, entah itu dalam lingkup kecil maupun pada dimensi yang lebih luas, tergantung dari diri sendiri. Maka ayo, Sobat, selagi masih ada kesempatan, lakukan sesuatu untuk mereka yang menanti uluran tangan kita. 

Atau, apakah kita akan membiarkan empati kita perlahan mati suri?

#TetapTerhubung

#KeepInTouch

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun