Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Putus Cinta, Sebuah Seni Belajar Bangun Relasi

12 Januari 2021   05:50 Diperbarui: 14 Januari 2021   11:04 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: broken heart | via peoplespharmacy.com

Gejala putus cinta? Duh, ni mimin bikin topil seyem amat. Lhoh iyha lho. Coba sila tanya Nadine Hamizah. Ada satu lirik lagunya yang nge-hits bingits bilang begini,

Katanya mimpimu kan terwujud, mereka lupa tentang mimpi buruk, tentang kata 'maaf sayang, aku harus pergi' 

Saya kurang tahu bagaimana perasaan Sobat semua ketika mendengar kata putus cinta. Tapi, coba katakan pada saya, siapa di antara kita yang menghendaki sejak awal membangun relasi, pada saat itu juga bertujuan untuk memutuskan hubungan yang akan dibangun? 

Saya yakin Anda bukan orang seperti itu. Saya percaya, kita berusaha mempertahankan apa yang telah (dengan kerja keras) kita bangun. Pun saya mengamini bahwa tidak ada diantara kita yang mengharapkan hubungan yang terjalin akan kandas di tengah jalan.

Lalu apa yang sebenarnya mengusik ingin tahu kita tentang gejala putus cinta? Karena kita tidak inginkan hubungan cinta kita terputus. 

Mmm, atau mungkin juga hanya untuk menambah wacana saja, kalau suatu saat "ketemu" dengan kondisi yang sama. Duuuh, amit-amit, jangan sampai deh yha...

Putusnya sebuah relasi, terlebih hubungan cinta begitu dihindari. Rasa kehilangan, proses letting go, dan segala ketidaknyamanan yang timbul pasca putus hubungan itulah yang Kita hindari.

Berjumpa dengan Tenang dari Sesuatu yang Tidak Pasti

Ya, manusia lebih cenderung untuk menghindari ancaman. Menghindari ketidaknyamanan. Agar hidup tidak menguras energi berlebih, itu salah satu alasannya.

So, ujung-ujungnya tetap mencari rasa aman dan nyaman, rasa secure, rasa tenang.

Kay, mmm, bagaimana bila saya membentangkan satu fakta lain, masih tertarikkah Sobat?

Bagaimana dengan hukum kebalikan dari Mark Manson ini :

"semakin Anda ingin mendapat kepastian akan sesuatu, Anda akan semakin merasa tidak pasti dan tidak aman; demikian sebaliknya, semakin Anda menerima sepenuhnya ketidakpastian dan ketidaktahuan, Anda akan semakin merasa nyaman karena tahu persis apa yang Anda tidak ketahui" (Manson, 2019)

Ada beberapa orang di luar sana bahkan meminta kata sandi semua akses media sosial pasangannya, hanya untuk memastikan pasangannya tersebut tidak berselingkuh. Perlukah? 

Katakan saja kita mengecek segala pesan singkat dalam ponsel pasangan kita. Lalu, bila ternyata kita tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Lalu apa yang akan Kita perbuat selanjutnya?

Satu penggalan cerita dalam novel karya Arswendo Atmowiloto yang berjudul "Canting" menghenyakkan kesadaran saya. Saat Wening menjalani LDR dengan tunangannya, Hermawan, mereka hanya berkomunikasi via telepon dua hari sekali. 

Saat ditanya apakah Wening tidak takut Hermawan selingkuh, Wening hanya berkata, "Lha saya kan ndak ada di sana to, ya apa yang dikatakan Mas Her, saya percaya saja. Kecuali kalau saya berada di sana sama Mas Her,"

Berharap dengan mengetahui segala sesuatu tentang segala sesuatu yang kita asumsikan sebagai 'ancaman' akan membuat kita lebih merasa nyaman, bukanlah hal yang tepat.

Mungkinkah kita menemukan kebahagiaan di tempat di mana kita kehilangan kebahagiaan? (dr. Jiemi Ardian, SpKJ).

Ketidakpastian membuat kita merasa bebas. Bebas untuk tidak tahu tentang apa yang sesungguhnya tidak (perlu) kita tahu. But how come? Bagaimana mungkin ketidaktahuan kita justru membuat kita menjadi bebas?

Benar. Adakalanya kita tidak harus menjawab semua yang ada dalam benak dan pikiran kita. Menjalani segalanya hanya dengan sebentuk kata sederhana dan cukup menghindarkan kita dari rasa cemas karena timbunan pertanyaan yang mungkin justru akan membuat kita semakin cemas.

Memahami dan belajar menghidupi sebuah hubungan adalah lebih penting dari pada terobsesi mengejar tujuan akhir hubungan itu sendiri.

Dalam artikel saya yang berjudul "Tidak Ada Cinta Sejati di Dunia, Betul?" saya berusaha menyederhanakan arti kata cinta yang sehat.

Mengapa saya lebih tertarik cinta yang sehat, karena di dalam cinta yang sehat 2 individu yang berpasangan tidak saling melemparkan tanggungjawab emosi mereka. Dalam menjalin hubungan, 2 individu ini mengerti benar bagaimana mereka mengakui dan mengatasi masalah mereka sendiri dengan dukungan pasangan mereka. 

Bahwa segala jenis emosi, termasuk keinginan mendapatkan kebahagiaan adalah tanggung jawab masing-masing individu. Bukan tanggung jawab pasangannya. 

Konsep inilah yang seringkali dilupakan oleh setiap mereka yang merindukan bertemu pasangan. Sehingga pada saat setelah melewati beberapa lama waktu bersama, individu seringkali merasa bahwa pasangannya berubah. Tidak sama seperti pada saat awal perkenalan terdahulu.

Putus Cinta Adalah Sebuah Proses Kehidupan

Seiras dengan Manson, psikolog ternama Viktor E. Frankl sang pelopor logotherapy, pernah mengungkapkan bahwa pencarian makna dalam proses hidup adalah lebih berarti dari pada mengejar tujuan itu sendiri.

Apa yang kita bawa semenjak kecil, doktrinasi cinta romantis sebagai sebuah relasi mengasikkan, membuat senang, gembira dan selalu bahagia mengisi otak kita, memanipulasi, sehingga menimbulkan efek delusi.

Paradigma cinta yang menimbulkan rasa gembira membuat kita menjauhi kata putus cinta. Seakan, ketika putus, dunia serasa kiamat saja.

Saya sendiri tertampar dengan fakta ini, Sobat. Ternyata fase putus cinta adalah sebuah masa krisis eksistensi yang memaksa kita untuk dapat memaknai kehidupan, bahkan mampu membuat kita merubah arah menjadi lebih baik.

Lha tapi, apakah hanya dengan putus cinta lantas kita belajar memaknai hidup? Ya tentu saja bukan begitu, Sobatku. 

Boleh jadi kita mempunyai ekspektasi, mmmh, atau harapan dan tujuan dari hubungan yang kita jalin. Tapi, bukan berarti bahwa kita berhak menuntut pasangan kita memberikan kebahagiaan kita. Saling mendukung mungkin merupakan pilihan yang lebih tepat yha, Sobs.

Bolehlah memiliki wawasan mengenai beragam konflik dalam masa pacaran, tapi bukan berarti dapat begitu saja menempatkan kondisi-kondisi tersebut pada pasangan kita. Saling belajar yha Sobs...kita saling belajar...

Sebagai penutup, saya kutip rangkaian aksara yang cukup terkenal, dari kumpulan cerpen milik Dee Lestari, Rectoverso.

"Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang."

 Salam,
Penulis

***

*Sumber : 

  • Manson, Mark (2019). Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat. PT. Gramedia, Jakarta
  • Frankl, Victor E. (2017). Man's Search for Meaning. Mizan Digital Publishing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun