Biasanya trader merasa bahwa akan ada harapan membaik, ada ekspektasi bahwa saham yang dipegang akan mengalami kenaikan.
Rasa eman yang muncul biasanya datang karena effort, usaha di masa lalu guna mendapatkan investasi tersebut. Mungkin juga ada nilai tersendiri dalam saham tersebut. Sehingga, meskipun crash tetap saja di-hold.
Senada dengan perilaku tersebut, ada satu fenomena yang mungkin secara tidak sadar terjadi dalam hidup kita. SCF bukan hanya perilaku yang terjadi dalam membina relasi. Tetapi, lebih jauh lagi, it's all bout behavior, yang terbawa pada saat pengambilan keputusan.
Sebuah cerita mengalir. Saya menukilnya dari salah satu medsos. Tentang seorang photographer, sebut saja Jack. Usai pengembaraannya dari sebuah pegunungan, Jack dengan bangga menunjukkan hasil jepretannya kepada sang editor.Â
Namun, sayang, sang editor menolak untuk mempublikasikan photo tersebut, karena tidak ada satu nilai istimewa di dalamnya.
Penolakan ini tidak menyurutkan Jack. Ia masih terus mengajukan gambar yang sama kepada sang editor, sementara sang editor tetap saja mempunyai jawaban yang sama, menolaknya. Kejadian ini berulang, Jack tidak pernah menyerah.Â
"Jack, mengapa kau tidak menyerah menunjukkan gambar ini? Aku menolaknya karena sungguh tidak ada yang istimewa dari gambar pegunungan ini," gumam si editor.
"Kau tahu, aku susah payah mendapatkan gambar itu. Aku mendaki gunung, memakan waktu yang lama mencari angle yang pas, dan aku menghabiskan yang banyak untuk gambar itu,"Â ungkap Jack tak ingin kalah.
Mungkin kita akan merasa, "well, aku tidak pernah di posisi itu. Aku tidak akan sebodoh Jack." Wew...tunggu sebentar.
Kisah Jack mungkin memiliki kesamaan dengan sebuah relasi yang beracun (toxic).
SCF seringkali dijumpai pada pasangan toxic yang putus nyambung berkali-kali. Satu studi bahkan pernah mengungkap fakta bahwa satu pasangan toxic mengalami putus nyambung hingga 5-7 kali, sebelum mereka benar-benar menyatakan putus.