Senang rasanya masih diberi kesempatan menulis di sini. Mengingat ada begitu banyak orang di luar sana belum mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan kita.
Nah, saya ingin berbagi tentang salah satu artikel yang menginspirasi tulisan saya kali ini. Terima kasih untuk rekan Kompasianer Nia Putri Angelina yang telah menulis tentang proses letting go, seindah tiap goresan akriliknya. Baca artikelnya di sini.
Satu proses yang teramat kita jauhi dan sering disemogakan jangan sampai terjadi pada kita yang senang berelasi. Ya, selama masih sebagai manusia, mempunyai relasi dengan sesama adalah salah satu kebutuhan dasar kita.
Sebuah relasi dengan goal, tujuan yang menurut asumsi kita adalah sebuah suksesi relasi.Â
Suatu ketika, saya menikmati makan siang bersama dua teman kantor. Kemudian salah satu di antara mereka curcol, bercerita mengenai pacarnya, begini, "Sudah lama aku dan dia berpasangan. Tapi, ko rasanya ga nyaman lagi yha?"
"Ya udah, putusin aja", celetuk teman saya yang satunya. Karena setahu kami, dia dan pacarnya sudah putus nyambung berkali-kali.
"Ya...tapi, kan kami udah pacaran lama lho. Udah rencana nikah, keluarga kami udah saling kenal. Kan...eman kalo putus,"Â
Hmm, pernyataan eman, mengingatkan saya pada satu fenomena yang mungkin banyak terjadi di sekitar kita. Atau mungkin kita sendiri pernah mengalaminya.
Iiihh, ogah lah. Amit-amit, Mbak .... hehehe
Tunggu dulu, Sobs. Amati yha. Nama fenomena itu, Sunk Cost Fallacy. Nah, mungkin bagi sebagian Sobat Bijak di sini pernah mendengar istilah ini yha?Â
Sunk Cost Fallacy (SCF) biasa muncul dalam istilah perdagangan. Jual beli saham. Di mana, pelaku dagang berada pada situasi "eman" untuk melepas saham, meskipun saham tersebut mengalami penurunan nilai di pasaran.
Biasanya trader merasa bahwa akan ada harapan membaik, ada ekspektasi bahwa saham yang dipegang akan mengalami kenaikan.
Rasa eman yang muncul biasanya datang karena effort, usaha di masa lalu guna mendapatkan investasi tersebut. Mungkin juga ada nilai tersendiri dalam saham tersebut. Sehingga, meskipun crash tetap saja di-hold.
Senada dengan perilaku tersebut, ada satu fenomena yang mungkin secara tidak sadar terjadi dalam hidup kita. SCF bukan hanya perilaku yang terjadi dalam membina relasi. Tetapi, lebih jauh lagi, it's all bout behavior, yang terbawa pada saat pengambilan keputusan.
Sebuah cerita mengalir. Saya menukilnya dari salah satu medsos. Tentang seorang photographer, sebut saja Jack. Usai pengembaraannya dari sebuah pegunungan, Jack dengan bangga menunjukkan hasil jepretannya kepada sang editor.Â
Namun, sayang, sang editor menolak untuk mempublikasikan photo tersebut, karena tidak ada satu nilai istimewa di dalamnya.
Penolakan ini tidak menyurutkan Jack. Ia masih terus mengajukan gambar yang sama kepada sang editor, sementara sang editor tetap saja mempunyai jawaban yang sama, menolaknya. Kejadian ini berulang, Jack tidak pernah menyerah.Â
"Jack, mengapa kau tidak menyerah menunjukkan gambar ini? Aku menolaknya karena sungguh tidak ada yang istimewa dari gambar pegunungan ini," gumam si editor.
"Kau tahu, aku susah payah mendapatkan gambar itu. Aku mendaki gunung, memakan waktu yang lama mencari angle yang pas, dan aku menghabiskan yang banyak untuk gambar itu,"Â ungkap Jack tak ingin kalah.
Mungkin kita akan merasa, "well, aku tidak pernah di posisi itu. Aku tidak akan sebodoh Jack." Wew...tunggu sebentar.
Kisah Jack mungkin memiliki kesamaan dengan sebuah relasi yang beracun (toxic).
SCF seringkali dijumpai pada pasangan toxic yang putus nyambung berkali-kali. Satu studi bahkan pernah mengungkap fakta bahwa satu pasangan toxic mengalami putus nyambung hingga 5-7 kali, sebelum mereka benar-benar menyatakan putus.
Rasa eman biasanya menjadi alasan bagi pasangan tersebut untuk tetap mempertahankan hubungan mereka, meskipun mereka tahu itu hubungan yang sedang dijalani adalah toxic. Aneh?Â
Eman untuk putus, karena hubungan sudah berjalan lama, menguras tenaga yang luar biasa, waktu yang lama, atau mungkin juga menghabiskan besaran materi yang dirasa cukup besar. Sehingga, tetap saja menjalin hubungan meskipun terasa melukai.
Bagi kita yang tidak sedang dalam hubungan toxic, adalah mudah untuk mengatakan atau  memutuskan pilihan mengakhiri sesuatu yang kita pandang merugikan. Tapi, ingat, bagi mereka yang berada dalam hubungan ini, tidak sedang menggunakan logikanya. Cinta dengan logika bukan perkara mudah, Sobs.Â
Ini tentang manusia emosional yang berusaha menggunakan rasionya, agar dapat hidup seimbang. Kalau masalah cinta, entah itu man from Mars atau woman from Venus pada dasarnya semua sama, it's all about feeling, emosi seseorang. Sama-sama ambyar bila harus putus di saat sayang-sayangnya.
Balik lagi, Sobs. Manusia lebih cenderung memilih sesuatu yang nyaman dan menghindari ancaman. Manusia lebih menyukai goal, tujuan sebuah hubungan dari pada makna hubungan tersebut.
Tanpa sadar bahwa sebenarnya ekspektasi sebagai pembentuk tujuan pencapaian kadang berlebihan. Terlalu imajinatif. Liar.Â
Sobat, memang tidak mudah untuk mempertahankan sebuah hubungan. Belajar berproses itu baik. Tapi, akan jadi lain soal bila hubungan tersebut melukai kita.Â
Mari, coba sadari. Coba bandingkan sebelum kita berada dalam hubungan itu. Lebih baik, atau lebih buruk?
Coba pahami, bila kita terus menjalin sebuah hubungan yang melukai. Kita akan kehilangan waktu untuk melakukan sesuatu yang lebih membangun bagi diri kita, terlebih memberi manfaat bagi liyan.
Menulis artikel ini tidaklah mudah bagi saya. Butuh waktu yang cukup lama untuk berproses. Letting go, sebuah proses melepas, bukanlah ancaman. Cepat atau lambat, selama kita adalah manusia fana, maka kita pasti akan menjalaninya. Kita akan tetap melalui fase kehilangan.Â
Kehilangan hubungan tersebut saat ini atau kehilangan diri kita di waktu mendatang? Bukankah kita sama-sama dalam fase kehilangan?
Bukan hanya berlaku dalam sebuah romantika relasi kita. Ini tentang keputusan. Keputusan melepaskan untuk mendapatkan. Sebuah paradoks? Yha, somehow life is nothing but paradoxes, right?
Jack akan kehilangan momentum njepret di tempat lainnya, dengan mempertahankan gambar yang terus ditolak oleh editor.Â
Tidak mengapa menunda kepergian untuk alasan keselamatan, meski tiket mahal sudah dalam genggaman.Â
Tidak usah takut menyeberang, meski jalanan begitu riuh untuk diseberangi. Bahkan meskipun kita belum tahu, apakah destinasi yang di seberang jalan akan memberikan kenyamanan bagi kita atau tidak. Paling tidak, kita telah mencoba menyeberang.
Takut adalah sebuah emosi. Manusia adalah makhluk emosional, yang berusaha menggunakan rasionalnya.
Kembali lagi, Sobat, ini adalah tentang keputusan. Sila memutuskan. It's all yours, Sobs.
Sila memutuskan...
Salam,
PenulisÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H