Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mencari Tawa dari Takut yang Mengancam

26 Desember 2020   23:51 Diperbarui: 21 April 2022   22:26 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkap layar via twitter.com | dokpri


Informasi mengenai perkembangan mutasi virus Corona menghiasi dunia maya. Beragam pernyataan dan reaksi masyarakat muncul berkenaan dengan ditemukannya varian baru virus Corona di Inggris dan Afrika Selatan.

Meski badan WHO menegaskan bahwa kabar mengenai pernyataan resmi Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock tentang munculnya varian baru dari Covid-19 tersebut baru dalam penyelidikan, akan tetapi informasi tersebut tetap saja menuai banyak perhatian publik.

Belum usai kontroversi keampuhan vaksin penangkal virus Corona, namun kini dunia kembali dihebohkan dengan mutasi virus yang ternama dengan N501Y.

Bagaimana dengan dampak ekonomi dunia yang semakin maki digoncang? Banyak pengusaha memilih untuk membagi saham, demi berlangsungnya terus lapak kapital mereka.

Bertahan dalam situasi pelik yang tidak menentu membuat setiap orang mempunyai opsi sebagai alat untuk bertahan hidup.

Berbagai tekanan hidup banyak dirasakan masyarakat menimbulkan beban mental yang berat. Kegelisahan dan ketakutan semakin menggelayuti pikiran kita.

"Oh, besok gimana caranya mengangsur cicilan utang?"

"Apakah anakku masih bisa kuliah?"

"Waduh, kalau pandemi tidak segera berakhir, berarti aku dan dia jarang ketemuan dong?"

"Gimana dapet gebetan kalo bisanya cuman mutualan?"

Ya, keresahan ini menjadi momok bagi kita tanpa pandang bulu, tanpa pandang sepatu. Hehehe

Dopamin kini diburu demi terselenggaranya bahagia dalam hidup setiap orang. Ya, ini normal saja. Karena masih banyak dari kita yang menganggap bahwa lawan takut yha senang dan rasa gembira. 

Sebelum melegalkan klaim tersebut, mengapa kita tidak mencoba untuk mencari tahu apa alasan ketakutan yang disinyalir sebagai pemantik segala emosi negatif?

Takut adalah salah satu emosi dasar dalam diri manusia. Takut timbul tatkala sesuatu di luar diri kita mencoba mengambil alih rasa nyaman, dikenal oleh amygdala sebagai ancaman. Dalam ilmu psikologi, biasanya ada 3 macam respon individu terhadap rasa takut; fight, fly, atau freeze.

Sebenarnya takut merupakan emosi yang muncul supaya kita aware, waspada, berhati-hati. Ketakutan adalah hal yang normal. Biasa terjadi pada manusia. Bayangkan saja bila hidup ini tidak tercipta rasa takut. Yang terjadi mungkin kita loss dhol...

Coba bayangkan bila tidak ada rasa takut akan virus covid. Bila kita sama sekali tidak takut menjadi reaktif, atau terpapar virus yang mematikan ini. Mungkin para peneliti tidak akan membuat penelitian tentang vaksin. 

Tapi, tunggu dulu. Apakah takut adalah satu-satunya faktor yang menyebabkan kita membutuhkan tawa? 

Ada beberapa pendapat dari para ahli psikologi mengenai tertawa. Tertawa ternyata mampu membuat tingkat hormon serotonin, dopamin, serta endorfin berada pada tingkat yang stabil.

Faktor-Faktor yang Mendukung Penerimaan Seseorang Terhadap Humor

Salah satu psikolog yang mengadakan penelitian tentang tertawa, Glenn Duggman menyatakan bahwa tertawa merupakan aktivitas emosional yang setingkat dengan menangis.

Wew, kok bisa?

Glenn berpendapat bahwa pada saat sebuah masalah atau sesuatu peristiwa yang dialami oleh sekelompok orang maka tanggapan seseorang mungkin akan berbeda dengan orang lainnya.

Hal ini, menurut Glenn, terjadi karena tingkat sensitifitas humor antara satu orang dengan yang lain sangatlah berbeda.

Coba kita cermati jokes berikut ini...

"Pak Pendeta, apakah kalau kita bernapas di dekat jenazah itu dianggap sombong?" 

"Apakah seseorang yang buta warna bisa melihat api neraka?"

Sebagian dari kita mungkin akan menganggap itu bukan hal yang lucu. Malahan menyinggung perasaan. Namun, ada sebagian dari kita langsung tertawa mendengarnya. Iyha atau iyha? Is it dark joke? Ya, mungkin.

Beberapa ahli psikologi menganggap bahwa sensitifitas humor yang berbeda bagi setiap orang disebabkan oleh dua hal. 

Diantaranya, faktor emosional seseorang. Pada saat seseorang baru sedih tidak akan sama ketika merespon sebuah humor dibandingkan dengan seseorang yang dalam kondisi senang, atau sedang tidak terjadi apa pun.

Waktu dan peristiwa yang dialami oleh setiap individu berbeda. Inilah yang membedakan respon seseorang terhadap sebuah humor.

Next, faktor pengalaman masa lalu. Saya mencoba mengulik theconversation.com tentang hal ini. Para psikolog menganggap bahwa respon positif seseorang terhadap humor berkaitan dengan pengalaman positif masa lalu orang tersebut. 

Sebaliknya bila seseorang memiliki respon negatif terhadap sebuah humor, mengindikasikan bahwa orang tersebut memiliki masa lalu yang negatif terhadap respon humor pada sebuah hiburan.

Hhfffth sa gitu yha? Try take a look at this...

tangkap layar via twitter.com | dokpri
tangkap layar via twitter.com | dokpri

Bagaimana mentemen menanggapi cuitan warga republik Twitter di atas? Tertawa atau,...tersinggung?

Tentu saja itu terserah mentemen. Setiap orang berhak mempunyai sensitifitas humor masing-masing. Normal, lah...

Seperti pernah saya dengar salah satu respon Pandji Pragiwaksono, sang artis standup comedy, "ya saya nge-jokes atau tidak, Anda tetap saja tersinggung pada hal itu, bukan?"

Bila suatu saat nanti telah ditemukan obat atas virus "pintar bermutasi" Covid-19, mungkin kondisi kesehatan masyarakat Indonesia segera pulih. Namun, beban mental selama masa pandemi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih kembali.

Manfaat Ketawa Itu Apa?

Indonesia butuh ketawa? Tentu saja! Menertawakan diri sendiri membawa efek positif bagi imunitas tubuh. Apa manfaat kita tertawa?

Profesor Janet M. Gibson dari Universitas Grinnell menyatakan bahwa menertawakan sebuah hiburan adalah sebuah cara untuk bertahan dari situasi pelik. Cara inilah yang membuat kita menjadi kuat dalam menghadapi permasalahan.

Hormon yang berfungsi sebagai neurotransmitter seperti serotonin, misalnya, akan timbul pada saat kita tertawa.

Dengan meminimalisir respon otak kita pada ancaman yang datang, maka akan membatasi pula pelepasan hormon kortisol yang akan berpengaruh pada kinerja kardiovaskular, metabolisme tubuh, dan sistem imun kita.

Tidak berbeda, Glenn Duggman berpendapat bahwa pengalaman humoris seseorang pada masa kecil akan berpengaruh pada respon seseorang tersebut di usia dewasa.

Masyarakat Indonesia dengan meningkatnya segala tekanan yang berpengaruh terhadap rasa cemas, takut, marah, akan mengakibatkan tingkat stres pada diri seseorang.

Apabila "pengalaman" dengna tertawa lebih banyak, maka tingkat stres seseorang diharapkan mampu menurun. Entah dalam intensitas tinggi ataupun rendah, tetap saja hal tersebut sangat berpengaruh pada kondisi mental seseorang...

Indonesia Butuh Ketawa... Kita tentu saja butuh Ketawa... Permisi, saya mau ketawa bersama Butet dan lawakan Marwoto...

Salam bahagia,

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun