Toxic Relationship? Hmmm, jujur setelah saya membaca sebagian dari ulasan rekan Kompasianer, wuiiiih, keren yha. Two thumbs up for all of you. Terima kasih untuk semua yang mengulas hal ini.Â
Topik ini selalu mempunyai daya magnet yang mengundang kita untuk mengulik lebih dalam. Meskipun kita meihatnya dari sudut yang berbeda, semua pasti menarik untuk dibincangkan.
Saya tidak akan menulis terlebih jauh mengenai apa sih sebenarnya hubungan beracun ini. Sudah banyak penjelasan keren dari Kompasianer lain. Hanya saja, ada satu hal yang seringkali belum mendapat perhatian tentang toxic relationship ini.
Pertanyaan buat kita, pernahkah kita merasakan betapa tidak nyamannya kita berada di posisi sebagai korban toxic relationship ini? Atau jangan-jangan tanpa kita sadari, kitalah yang selama ini menjadi toxic people untuk orang-orang terdekat kita? Apakah fenomena ini hanya terjadi di kalangan mereka yang sedang menjalin hubungan asmara saja?
Wew, I tell you what, I've been there before. Dan percayalah, itu ga enak. Menjadi seseorang yang bukan diri kita sendiri. Termanipulasi oleh kata-kata orang lain. Hidup di bawah tekanan. Selalu merasa bersalah. Untuk keluar dari situasi ini kita membutuhkan support system yang kuat. Baik dari pihak keluarga atau teman-teman kita.
Bila teman-teman ingin tahu tentang alur atau siklus toxic relationship, coba kunjungi artikel saya yang berjudul "Gaslighting: Mau Hangat Berelasi? Hati-hati Aktivitas Ini".
Tolong jangan mengira bahwa hubungan beracun hanya terjadi di antara kita yang menjalin hubungan asmara. Mungkin ada di antara teman-teman yang juga mengalaminya, namun kita tidak sadar sedang dalam hubungan tersebut, entah sebagai korban atau sebagai toxic people.
Relationship mencakup segala jenis hubungan. Mungkin yang sering terdengar oleh telinga dan terlihat oleh mata kita, bahwa kasus ini banyak terjadi di dunia per-asmara-an (duh semoga ada yang njawil saya kalau saya salah nulis.) Ini mungkin mewarnai pula dalam hubungan partner bisnis, teman sekerja, dalam keluarga, maupun dalam hubungan persahabatan.
Inti dari toxic relationship ini adalah ego sentris, adanya tindakan manipulatif, sering menyalahkan orang lain, merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, tidak mampu merasakan empati, merasa mempunyai posisi di atas orang lain.
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?
Seorang anak remaja berusia 15-16 tahun melegalkan pendapat tersebut. Ia dengan antusias menceritakan betapa karakter tokoh-tokoh manga atau anime yang memberi kesan tersendiri bagi ia dan kawan-kawan seusianya.
Di kalangan Weeboo, para penggemar anime dan manga, yang kita adopsi sebagai salah satu media entertain dari Jepang, mungkin istilah tsundere bukan lagi kata asing.Â