Hmmm, sesudah saya tulis artikel tentang Halloween dari sudut pandang kaum pagan, hari ini saya pun tak ingin meninggalkan issue lain yang pula terjadi di balik tanggal 31 Oktober yang lalu.
Euforia Halloween yang terjadi di berbagai belahan dunia seakan menutup sebuah momentum penting yang tidak kalah tenarnya. Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa, pada tanggal tersebut beberapa orang pemrakarsa perubahan sistem atas kebenaran, memakukan dalil-dalil imannya sebagai sebuah aksi protes pada aturan dari sebuah sistem religi yang lazim diakui publik kala itu.
Ya, mereka adalah tokoh Reformis Gereja.
***
"Selamat Hari Reformasi Gereja" tetiba ucapan ini muncul di balik notifikasi chat WhatsApp saya, dari seorang teman yang melayani Tuhan di Sentani, Papua.
Semula kami terlibat dalam percakapan receh menyoal kabar dan kondisi kami. Namun obrolan singkat kami akhirnya bermuara pada kata "Reformasi Gereja" kekinian.
Reformasi gereja yang dilakukan oleh Martin Luther membawa perubahan baru; sebuah kegerakan gerejawi dengan ditempelkannya 95 tesisnya pada pintu gerbang gereja istana di Wittenberg.
Lima sola yang terhidang sebagai sebuah manifestasi dari keprihatinan atas kemerosotan moral dan doktrinal pada agen di abad 16-17 merupakan pemegang otoritas atas sistem kemasyarakatan yang bersandar pada tuntunan religi.
Reformasi Gereja yang digawangi oleh Martin Luther, Ulrich Swingli, dan John Calvin membawa pembaharuan pemahaman yang dinilai oleh para Protestan sebagai sebuah pelemahan keyakinan kasih Allah kepada manusia.
Keadilan Allah bukan hanya atas ketegasanNya pada penghukuman atas dosa dan pelanggaran manusia. Bahwa semua manusia berdosa adalah sebuah kenyataan yang ada pada individu.
Roma 3:23 (TB) Â Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.