Membiasakan diri untuk melepaskan masa lalu sangat membutuhkan perjuangan panjang. Saya harus bekerja sama dengan guru sekolah anak-anak, mulai dari TK hingga usia SMA, untuk menumbuhkan kembali rasa percaya diri mereka yang hampir patah bagai buluh yang terkulai. Believe me, it's a big struggle.
Selain itu, saya harus ekstra hati-hati agar komunitas di mana anak-anak mengembangkan hubungan sosialnya tidak keliru, terjun pada komunitas yang salah.Â
Namun demikian, saya percaya bahwa ada berkat di balik pengampunan. Entah berkat dalam wujud apa, saya mungkin belum memahaminya saat itu. Hanya saja, keputusan untuk menerima keluarga baru mantan suami saya adalah langkah yang tepat untuk mengajarkan pada anak-anak agar mau mengampuni masa lalu yang tidak nyaman.
Sekarang, saya sadar bahwa ada hal yang bisa saya pelajari dari segala proses perceraian ini. That life is nothing but paradoxes.Â
Ketika saya melepaskan sakit hati saya, maka saya mendapatkan kedamaian. Ketika luka ini saya tinggalkan, maka senyum anak-anak yang saya dapatkan. Ya, bagi saya...semua sudah tertata indah.Â
Anak-anak bertumbuh lebih dewasa. Bahkan di berbagai kesempatan, anak saya yang bungsu selalu dipercaya sebagai mentor bagi sesama remaja yang mengalami kasus broken home. Maka itulah, saya banyak bertemu dengan anak-anak penyintas broken home.Â
Sedangkan si sulung yang dulu begitu takut untuk bersosialisasi, kini sedang sibuk dengan komunitas barunya
Berkat lain yang saya dapatkan dengan terjalinnya lagi silaturahmi kami adalah, fungsi ayah yang dibutuhkan dalam pertumbuhan psikis anak-anak terpenuhi.
Meski demikian antara saya dengan mantan harus tahu benar bagaimana menjaga "batasan" dalam berhubungan, mengingat beliau sudah mempunyai keluarga baru yang kepentingannya harus saya lindungi juga.
Komunikasi anak-anak terus terbangun bersama dengan lahirnya adik baru mereka. Entah mengapa ada rasa indah yang tetiba mengalir dalam benak saya, saat anak-anak benar-benar ngeblend dengan step brother mereka. Puji Gusti....