Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hutan dan Kedai Malam [End]

29 Juli 2020   11:48 Diperbarui: 29 Juli 2020   11:40 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : pixabay.com | diolah lagi ama nyang nulis

Kakiku melangkah pelan saat kudekati remaja di dekat meja pelayan. Kulihat anak muda itu menatapku sekilas, lalu menundukkan kepalanya lagi. Tangannya gemetaran menikmati sepiring kentang goreng di hadapannya.

Sungguh, aku tidak menjumpai sedikit pun kejahatan di kedalaman mata coklatnya.

"Hai, kulihat sedari tadi kau hanya makan kentang goreng. Dan segelas....," kulihat gelas sodanya kosong. Kulirik anak muda di sampingku.

"Aku tak punya uang,"sahutnya pelan.

"Nyonya, saya pesan sepiring spaghetti bolognese, semangkuk sup jagung, dan segelas susu hangat untuk anak ini," sahutku pada Ibu pelayan.

"Tapi, aku ....," anak muda itu tergagap mendengarku memesan makanan untuknya.

"Jangan ragu, aku yang akan membayarnya," ujar pelayan tua itu. "Aku hanya menunggu seseorang memesannya untukmu, sayang. Kau hanya cukup berjanji, jangan kau lari lagi. Hadapilah semua. Beranilah, Rose," ungkap ibu pelayan. Anak muda itu segera melepas topinya. Dan oh, ternyata benar dugaanku, ia ternyata seorang anak perempuan.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku keheranan. "Ini hutan. Malam hari, dan kau...," gadis itu terdiam. Bibir bawahnya digigit sedikit. Ia menggigil. Tangannya kulihat gemetaran. Tak tega aku melihat wajahnya yang semakin pucat, kurangkul, lalu kupeluk tubuh mungil itu. Setelahnya, kubiarkan ia menangis tersedu.

Oh, dasar pikun!! Mengapa aku berhenti di meja ini? Bukankah tadi aku ingin ke belakang kedai? Ya, dengan bergegas kutinggalkan gadis itu menikmati makan malamnya.

Dan augh!!!

Hampir saja aku menabrak wanita muda yang tadi duduk berdua dengan suaminya. Di tangan kanannya terlihat sedang menggenggam bungkusan kecil. Entah apa yang ada dalam kantung kertas berwarna coklat muda itu. Dengan cepat ia menyembunyikannya dariku. Ia segera duduk kembali di samping suaminya.

Tubuhku segera menyelinap di kegelapan. Kudengar langkah kaki Dan beberapa suara sedang berbincang, mendekati gudang di belakang kedai. 

Dengan segera kutundukkan tubuhku di tumpukan batu, di samping kedai. Kedua bola mataku memindai dua orang pria keluar dari kedai berjalan ke sebuah gudang  berkonstruksi kayu tua. Aku mencoba memberanikan diri menatap mereka di balik bebatuan yang melindungi tubuhku.

Mereka berdua hanya diam. Yang satu bertubuh kurus, berwajah tirus, dengan kacamata bulat membingkai wajahnya. Sedang yang satunya lagi berperawakan sedang. Umurnya mungkin lebih muda. Rambutnya lebih rapi. Bentuk wajah ovalnya. Sedikit bekas goresan luka di pipi kirinya terlihat jelas di bawah temaram lampu gudang.

Terdengar suara ranting patah. Aduh, bodohnya kakiku menginjak sebatang ranting kering yang tidak terlihat jelas, karena gelapnya malam.

Mendadak ada tangan yang membungkam mulutku, menarik tubuhku ke sebuah sudut di luar kedai.

"Ssssst. Diam!" lega hatiku sadari tangan Josh yang menarikku ke sebuah sudut di luar kedai.

Dua lelaki di dekat gudang itu meneliti setiap jengkal tumpukan batu di mana aku semula bersembunyi. Saat mereka tak menemukan siapa pun, mereka berjalan ke arah kami berdua. Dan oh, tiba-tiba Josh memelukku erat.

"Diam," bisiknya di telingaku.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya si kurus berkacamata.

"Emh, oh...kami....yha kau tahu, kami sedang...mencari tempat sepi untuk...," dua orang itu menunggu Josh melanjutkan jawabannya.

"Kami berdua di sini untuk...., kau tahu kan, kami,..." Oh, sialan otakku buntu. Alasan apa yang harus kukatakan?

"Dia pacarku, Tuan. Dan yha, kami....kau tahu kan...sedikit pelukan, ciuman, dan....,"

"Uuugh. Menjijikkan!!" sahut si kurus berkacamata yang kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.

"Kau benar, Tuan. Dia memang menjijikkan," bisik Josh lirih. Kuinjak kakinya sekuat tenagaku, lalu kutinggalkan dia. "Aduh, hhhh dasar wanita menyebalkan. Hei tunggu!"

Kami kembali ke meja. Jelas makanan kami sudah habis. Tapi, rasa penasaranku pada mayat di gudang belakang belum terbayar. Sementara itu, hujan bertambah lebat. Hanya kedai inilah tempat teraman dan ternyaman kami untuk berteduh.

Dua lelaki yang semula bertemu kami di dekat gudang, kini kembali duduk di dekat jendela kedai, sesekali mereka menengok ke arah luar kedai. Entah apa yang mereka cari, yang pasti raut mereka berdua tampak begitu gelisah.

"Masih hujan, Carlo. Sebaiknya kita di sini dulu," kata salah satu dari dua orang di dekat jendela. Pria jangkung yang bertabrakan denganku tadi ternyata bernama Carlo. Ia hanya terdiam. Orang yang cukup tenang. Atau memang dia benar-benar tak memperdulikan sekitarnya.

Mesin pemutar musik telah berhenti. Tidak seorang pun beranjak dari tempat kami masing-masing. Gadis remaja itu masih duduk di dekat meja pelayan menikmati segelas susu hangatnya.

"Apa rencanamu?" Josh terdiam lama. Matanya bergerak ke kanan lalu ke kiri. Ia tak menjawab sepatah kata pun. "Josh!!" gertakku. Tetap saja ia acuh. Diam. Bergeming.

Ia menggeser tempat duduknya mendekatiku. Tanpa sepatah kata pun ia tetap saja mendekat semakin erat. Kubiarkan saja ia bertingkah aneh. Josh selalu bertingkah aneh bila ia sedang gelisah.

"Aku ingin pulang sekarang,"sahut wanita muda yang duduk bersama suaminya.

"Rachel, tunggu!" cegah sang suami. "Lihat, hujan turun semakin deras. Mobil kita tidak akan bisa melewati hujan ini, sayang," bujuknya.

"Joe, aku harus pulang sekarang. Pekerjaanku masih harus kuselesaikan. Kalau tidak, Tuan Flaming akan memecatku,"

"Lalu kenapa? Biar saja. Kau bisa di rumah, atau kita akan cari pekerjaan lain,"

"Joe, tolonglah. Jangan mulai lagi. Aku lelah. Makan malam kita selesai. Dan mungkin kau perlu tahu, kita sudahi saja hubungan ini,"

"Rachel, kau tak bisa...."

"Berikan kunci mobilnya sekarang. Dengan atau tanpamu, aku harus pulang. Sekarang," desak Rachel.

Joe ternyata masih duduk terdiam di meja makannya.

"Joe, tolonglah. Aku tidak ingin terus berada di tempat mengerikan ini," suara Rachel kini terdengar lebih keras. "Aku tidak ingin menghabiskan waktuku dan berakhir menjadi mayat di sini," untuk kali ini aku dan Josh saling berpandangan. Kami termangu mendengar Rachel berkata tentang "mayat".

Anehnya, Joe masih saja dengan tenang menikmati makanannya. Sepiring steak dengan sebotol anggur merah entah keluaran tahun berapa. Lalu dengan enggan ia mengambil kunci mobil dari sakunya.

Rachel segera pergi menyalakan mesin mobil di halaman kedai. Namun mobil itu tak segera menyala, apalagi bergerak meninggalkan tempat ini. Aku dan semua orang di situ menyaksikkan Joe yang terdiam, meski belum usai menikmati steak di piring sajinya.

Pelayan tua itu kembali mendekati Joe, sementara Rachel masih mencoba menyalakan mesin mobil.

"Mau kuambilkan secangkir teh hangat, Joe?" tanpa sepatah kata pun dari Joe, si pelayan tua dengan cepat pergi ke meja sajinya, lalu kembali sambil membawa secangkir teh hangat. Aneh, aku mampu mencium keharuman teh yang begitu menenangkan. Begitu hangat hingga mampu membuatku nyaman. Ini, sungguh aneh.

"Joe, setiap hati yang beku, selalu punya kesempatan untuk dihangatkan kembali. Percayalah. Mempertahankan kepercayaan adalah lebih penting dari pada sekedar mempertahankan sebuah hubungan," kata pelayan yang kemudian meninggalkan Joe sendiri.

Selang beberapa menit kemudian Rachel masuk ke dalam kedai lalu menghempaskan tubuhnya di dekat Joe, suaminya.

"Mayat itu...apa Rachel tahu sesuatu tentang mayat itu, Jessie?" tanya Josh. Aku hanya mengangkat bahu. Jangankan pertanyaan sejauh itu. Dimana aku sekarang pun aku tak tahu.

"Jadi, sekarang kau ingin melibatkan dirimu dalam kasus ini, Tuan?"

"Entahlah. Saat kau menghabiskan waktu dengan gadis korban pelecehan itu, aku mencoba mencari tahu seka...,"

"Apa katamu? Gadis korban pelecehan?"

"Ya. Gadis itu, yang sedang menikmati kentang gorengnya,"

"Dari mana kau tahu dia dilecehkan?" Josh menunjukkan selembar surat kecil berlumuran darah. 

"Surat ini ada dalam genggaman tangan mayat di gudang. Aku mengambilnya. Lalu pria kurus berkacamata tadi dia mencoba masuk ke dalamnya."

"Kau di mana saat itu, Josh?" tanya pelayan tua yang tiba-tiba duduk di sampingku sambil tersenyum.

"Kau mengagetkanku, Nyonya,"sahutku.

"Burung kecil terbang bersuara indah di  malam yang terbunuh gelap. Matilah kau kaki tangan kegelapan yang menggerayangiku siang dan malam" bisik pelayan tua pada kami berdua. "Hati-hati dengan catatan itu, Josh...mungkin kertas itu beracun," lanjut perempuan itu lalu pergi meninggalkan kami.

Raut muka Josh segera berubah pucat. Digenggamnya catatan kecil itu kembali. Sesaat setelah pelayan itu pergi, ia membuka catatan itu.

Di dalamnya tertulis, 'Burung kecil terbang bersuara indah di  malam yang terbunuh gelap. Matilah kau kaki tangan kegelapan yang menggerayangiku siang dan malam'

"Josh," gumamku. "Tanganmu mulai membiru." Seketika tubuh Josh menggigil. Keringat dingin membasahi bajunya. Raut mukanya pucat. "Josh kau baik-baik saja kan?" Josh hanya diam.

Warna biru di tangan Josh semakin menyebar hingga ke telinga dan mulutnya.

"Josh, Josh, apa yang terjadi?" rasa panik segera menyergapku. Akhirnya tubuh Josh tumbang ke lantai. Tak bernyawa.

[fine]

*Solo,.....playing with the mystery of life...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun