kekerasan seksual lain yang tidak termunculkan di media.
Terasa miris; sakit hati saya ketika teringat kasus Baiq Nuril, kemudian Yuyun yang meninggal sebagai korban perkosaan 14 orang, dan mungkin masih banyak kasusKini kembali terbit #sahkanruupks sebagai sebuah desakan pada negara sebagai pihak yang menjamin kesejahteraan dan keamanan warganya untuk mengesahkan regulasi bagi korban pelecehan serta tindak kekerasan seksual.
RUU yang mulai diusung sebagai harapan akan terwujudnya payung hukum yang jelas lagi tegas bagi tindak kekerasan seksual yang semakin menggunung kini menjadi salah satu fragmen dalam pementasan dunia politik negri zamrud khatulistiwa.
Majunya RUU yang mulai disodorkan ke bangku parlemen di tahun 2016 sebagai sebuah ekstraksi dari keterdesakan kebutuhan legalitas hukum atas kaum tertindas secara seksual ini ke dalam Prolegnas merupakan terobosan baru.
Bagai sinar terang akan harapan terlindunginya hak-hak kaum perempuan di hadapan hukum khususnya atas kasus-kasus kekerasan seksual yang semakin hari semakin melebar.
Seusai pertengahan 2016 KP menyerahkan naskah akademik sebagai pertimbangan dalam rapat Badan Legislatif Nasional. Maka, setelah penantian agak panjang, tahun 2017 Presiden Jokowi menyerukan agar para menteri dan DPR segera berkoordinasi untuk membahas RUU P-KS ini.Â
Well, well, well,...here we go again.....
Rasa-rasanya perjuangan hak perlindungan bagi kaum hawa ini masih harus menempuh jalan panjang. Kenakan tali kasutmu kembali wahai pejuang yustisia kaum nestapa. Bagaimana tidak?Â
Usai seruan Jokowi tahun 2017, baru pada detik-detik menjelang Pemilihan Legislatif tahun 2019, Panja Komisi VIII DPR mulai merencanakan menggumuli RUU anti kekerasan seksual ini, tepatnya pada tahun 2018.
Di tengah penantian panjangnya, rumusan regulasi di meja DPR ini pun menghadapi perlawanan dari berbagai tudingan miring yang mengecam hadirnya regulasi tegas sebagai wujud perlindungan negara bagi para korban tindak kekerasan seksual.Â
Catatan akhir tahun KP 2020 mencatat beberapa item yang menjadi batu sandungan bagi perjuangan terwujudnya UU ini.
Mulai dari beberapa anggapan mengenai RUU P-KS sebagai norma hukum yang menentang norma religius mayor warga +62, hingga RUU ini dituduh sebagai janin regulasi yang melawan Pancasila.
Hal-hal yang menjadikan RUU P-KS gagal disahkan, masuk kembali menjadi RUU carry over. Ya, selain berjibun alasan lain yang dilegalkan sebagai penjegalan pengesahan RUU P-KS. Sementara itu, rekan, kasus tindak kekerasan seksual semakin berajojing ria.
Lihat saja makin meningginya kasus-kasus tindak kekerasan, tak hanya pada perempuan tapi juga laki-laki, yang kini menjangkau pada ranah privasi, bahkan menyintas hubungan pacar atau sekedar ruang komunitas teman.Â
Sementara itu ruang gerak kaum perempuan khususnya di hadapan hukum negeri selama ini hanya menggunakan mantol KUHP, sebut saja pasal 293, 294, 295 ayat 1, serasa belum mampu menikam secara spesifik tindak kekerasan seksual.Â
Hedew ......Â
Baca juga: Generation Equality : Amankah Negri Ini Bagi Anak Perempuan?
Publik ingin produk pembasmi hama yang kompeten dan kredibel, di satu sisi agar kredo masyarakat terhadap trias politika mampu menunjukkan integritasnya di hadapan publik.
Dan, hei, RUU P-KS ini telah begitu lama di meja wakil rakyat, Baginda.... Bayang pun, sudah sejak tahun 2015 mulai ditumpuk di meja parlemen, hingga 2020, dan riwayatnya kini pun musti pasrah untuk kembali terlempar antre dalam pembahasan regulasi di tahun 2021?Â
Pertanyaannya, antrian nomor berapakah? Bukankah kreditur pun butuh termin pembayaran utangnya?
Menunggu apa lagikah para legislator ini? Hingga kulminasi setinggi apakah kasus-kasus kekerasan seksual akan diakumulasi ?Â
Ngeri bila harus membayangkan anak-anak kecil pun merasa biasa untuk melakukan pelecehan seks dalam komunitasnya. Mengapa tidak?Â
Kasus-kasus pelecehan seksual tanpa sanksi hukum yang tegas dan jelas, akan mempertegas regenerasi pola pikir dan tingkah laku masyarakat yang "terbiasa" dengan pelecehan seksual. Astaghfirullah....
Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual serasa seperti harus menguliti persoalan pelik. Yha, kami tahu pekerjaan melobi Pemerintah, membicarakan hal ini, berkoordinasi dengan para menteri tentang kesepahaman isu kekerasan seksual memang bukan pekerjaan yang gampang. Kudu memperhatikan banyak kepentingan masyarakat.
Tapi Tuan, Puan, tolong pahami pula, bahwa substansi yang ada dalam RUU P-KS akan meng-cover kebutuhan para korban pelecehan seksual.Â
Hoaks yang tertimbun di dunia maya jangan lantas dijadikan alasan mutlak bagi kukuhnya regulasi. Bila memang pendapat masyarakat diperlukan bagi tegaknya demokrasi, maka itulah arti adanya koordinasi.Â
Di hadapan masyarakat, aksi lempar ini membuktikan bahwa Dewan terhormat tak lagi punya simpati atau enggan berurusan dengan segala polemik massa yang rasanya kurang berasa punya kekuatan politis.Â
Bukankah kasus tindak pelecehan seksual telah menghimpun angka 25 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual.
Bukankah artinya setiap dua jam selalu terjadi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, yang semakin hari semakin kompleks.Â
Jelas payung hukum dibutuhkan. Lantas mampukah KUHP Percabulan beserta pasal penjegal tindak pidana pada anak mampu menjaga gawang kesejahteraan dan keamanan kami kaum perempuan di bumi pertiwi ini? Eta terangkanlah, wahai pemegang tampuk kekuasaan legislasi.Â
Apakah Tuan dan Puan masih mampu berkata,"Ini sulit," di hadapan para korban kekerasan seksual?
Ayolah, jangan hanya membuat janji terindah sepanjang masa. Buatlah sebuah regulasi yang pasti, sebagai bukti kau tak lagi ingkar janji. Karena kami tak lagi butuh alasan lagi, sampai kapan pun kami akan selalu menagih janji.
Salam hangat, semoga tetap sehat,Â
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H