Maafkan aku, kawan...
Kali ini aku tak membawa sekuntum bunga, atau puisi penuh cinta karena aku belum bisa jatuh cinta
Pula jangan harap aku membawa sekeranjang kata cinta yang hilang karena luka, kena dusta, atau merana karena patah asmara
Aku hanya punya sebuah cerita di suatu sudut kota dimana,
Sebuah ruang telah goncang, ribut penuh rancang,Â
Serumpun fakta menangis, menahan sakit mata sambil meringis, karena tatanan telah diperkosa habis
Sebidang dada harus dielus, mencoba pahami harapan tak selalu mulus, mungkin di republik khayalan sajalah keadilan sanggup bicara dengan halus
Seorang Calvin ternyata harus kembali mengulas, membuat apologetika bagi perjuangan yustisia yang mengais otoritas, atau toga hitam dan palu hanyalah simbol legalitas,Â
Maafkan aku ya, kawan, mungkin dewi Themis hanyalah mitos belaka, mungkin neraca dan pedang bukan lagi lambang kekuatan keadilan. Semua hanyalah mitos belaka, diapit cerita anak manusia yang sibuk menelisik makna adil rerata yang tunduk di bawah tahta.
*Solo,....kala harus menghafal sila ke-5 PancasilaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H