Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Yustisia yang Sekarat

14 Juni 2020   14:20 Diperbarui: 14 Juni 2020   14:20 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah satu mural di sudut Solo (dokpri)


Maafkan aku, kawan...

Kali ini aku tak membawa sekuntum bunga, atau puisi penuh cinta karena aku belum bisa jatuh cinta

Pula jangan harap aku membawa sekeranjang kata cinta yang hilang karena luka, kena dusta, atau merana karena patah asmara

Aku hanya punya sebuah cerita di suatu sudut kota dimana,

Sebuah ruang telah goncang, ribut penuh rancang, 

Serumpun fakta menangis, menahan sakit mata sambil meringis, karena tatanan telah diperkosa habis

Sebidang dada harus dielus, mencoba pahami harapan tak selalu mulus, mungkin di republik khayalan sajalah keadilan sanggup bicara dengan halus

Seorang Calvin ternyata harus kembali mengulas, membuat apologetika bagi perjuangan yustisia yang mengais otoritas, atau toga hitam dan palu hanyalah simbol legalitas, 

Maafkan aku ya, kawan, mungkin dewi Themis hanyalah mitos belaka, mungkin neraca dan pedang bukan lagi lambang kekuatan keadilan. Semua hanyalah mitos belaka, diapit cerita anak manusia yang sibuk menelisik makna adil rerata yang tunduk di bawah tahta.

*Solo,....kala harus menghafal sila ke-5 Pancasila 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun