Dearest readers,
Selamat bertemu kembali dengan saya yang lagi gemar nukil, usil, dan saat physical distancing tambah satu hobi lagi, gemar ngemil, hehehe...
Pakabar, sahabatku? Semua baik bukan? Kuharap kalian dalam kondisi sehat selalu, meski ruang gerak kita sangat terbatas. Kali ini sapaan saya nyenggol dikit soal parenting yha? Karena ternyata waktu luang kita jadi lebih banyak bersama anak-anak selama pandemi ini. Manfaatin yuks...
Sempat saya berpikir, membatin yang dalam, sampai pada kenyataan bahwa sesungguhnya dalam hidup ini dipenuhi dengan ketidakpastian. Jadi inget lagunya Bang Ari Lasso, Misteri Ilahi.Â
Tapi sebenarnya yang misteri itu indah lho, teman. Bayangkan andai saja bulan November tahun lalu kita semua tahu bangsa yang kita diami ini akan menderita sakit flu kerna Corona. Bahkan terdampak pandemi corona.
Pasti kita akan panik, chaos ada di mana-mana, yang laris mungkin tukang bangunan yang sibuk bikin bunker, dan semua karyawan pabrik masker dan APD sibuk menaikkan kapasitas produksi mereka hingga dua tiga kali lipat, hhhh....
Atau, bayangkan saja jika setiap kejadian yang akan kita alami telah kita ketahui sebelumnya. Ya, besok bisa dipastikan saya akan begini, atau minum dan makan dengan siapa, besok pasti saya akan pergi ke sana lalu ke situ.... Â Apa yang terjadi? Semua akan terasa membosankan, menjemukan. Semua serba flat, datar-datar aja.
Ada beberapa hal yang menurut anggapan kita masing-masing kita definisikan sebagai hal yang tak pasti. Tidak pastinya situasi politik, tidak pastinya iklim dan cuaca, tidak pastinya kematian, hingga tidak pastinya relasi kita dengan orang yang kita sayangi.
Jika yang tidak pasti itu selalu bersifat pasti, apa yang bisa kita lakukan dalam menjalani hidup yang tak pasti? Terlebih lagi, bagaimana kita belajar dari situasi yang tak pasti ini?
Teman-teman saya sering membincangkan tentang hal ini. Critical capability atau bahasa kerennya kemampuan berpikir kritis.Â
Sadarkah kita jika sedari kecil sebagian dari kita dihadapkan pada hal-hal yang sama dengan mereka yang tinggal di sekitar kita. Sama pola pikir dan cara pandang kita pada sebuah permasalahan. Bila memang begitu, maka kemampuan untuk berpikir secara kritis supaya kita mampu berkreasi secara kreatif.
Buat Bunda, Ayah, nitip pesen aja, bila Ananda di rumah mulai banyak bertanya, ya, biarkan saja. Biarkan mereka mengembangkan daya imaji mereka dalam menyikapi kondisi di sekitar kita. Hal ini akan memicu keinginan anak untuk dapat berpikir kritis.
Jangan larang atau mencoba untuk menahan rasa "curiga" mereka pada hal-hal yang sepertinya sederhana namun penting dalam pertumbuhan mereka.
Karena terkadang banyak orang tua lebih memilih membiarkan anak-anak mereka diam, dan tenggelam dalam dunia mereka sendiri, daripada ribet menanggapi pertanyaan anak-anak yang mungkin bagi kita adalah hal yang sepele.
Memang tak mudah di kala kita sebagai orangtua, harus "diganggu" oleh pertanyaan-pertanyaan anak-anak, sementara pekerjaan kantor harus segera di selesaikan.Â
Well, andai saja anak-anak dibiarkan mengganggu kita beberapa waktu dengan pertanyaan mereka, maka kita sama dengan membiarkan anak-anak ini menstimulasi kerja otak mereka untuk melakukan riset pada setiap peristiwa di lingkungan sekitar mereka.Â
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi bila si kecil kita tumbuh dengan analisis-analisisnya yang kemudian memicu mereka untuk bertindak kreatif, maka tak perlu kita khawatirkan mereka jikalau suatu saat mereka di masa yang akan datang akan menjumpai hal-hal baru di luar rencana atau target yang mereka rancangkan.
Ya, mereka akan terbiasa untuk berpikir kreatif dan mempunyai sifat atau karakter yang lebih fleksibel dalam meresponi ketidakpastian yang pasti muncul dalam hidup masa depan mereka.
Hmm, yha, flexibility...tingkat kemamuan seseorang untuk mempunyai sikap fleksibel terhadap segala kondisi yang mungkin datang dalam kehidupan kita.
Masih relate ama critical capability sih, cuman kalo yang tadi itu tentang bagaimana kita dituntut untuk tetap bertahan dalam hal baru yang datang dalam perjalanan hidup kita, nah, kalo yang barusan ini, soal flexibility, lebih ke arah sikap kita dalam menghadapi ketidakpastian.
Sebenarnya kita ga usah takut, atau bahkan ngeper bila berhadapan dengan segala situasi yang di luar ekspektasi kita. Karena semua berasal dari olah rasa dan pikiran. Sadari, bahwa sebenarnya pikiran kitalah yang sangat senang berpergian ke sana ke mari. Â
Bersikap fleksibel, lebih leluasa dalam menyikapi situasi akan memudahkan kita untuk daat menerima fakta yang terjadi, meskipun  jauh dari ekspektasi.
Bayangkan saja, Bunda, Ayah. Bila kita biarkan anak-anak kita tumbuh dan terbiasa dengan berpikir kritis yang mampu menumbuhkan daya kreatifitas mereka, agar di setiap kondisi mereka pun terbiasa untuk bersikap fleksibel terhadap segala perubahan yang terjadi, wow....
Mungkin ini akan meminimalisasi rasa takut yang akan mereka punyai bila mereka tumbuh dalam dunia yang pastinya serba tidak pasti ini.
Well, selamat direpoti dengan pertanyaan-pertanyaan si kecil yang bahkan kita tak pernah tahu harus menjawab apa. Tips aja nih, bila kita merasa tidak tahu atau belum bisa menjawab pertanyaan anak, percayalah, akan lebih baik bila kita jujur dan berkata memang Ayah, Bunda belum tahu jawabannya.
Sedikit share, ada berbagai pertanyaan anak-anak yang saya sendiri tak mengerti bagaimana harus menjawabnya. Bisa tulis di kolom Komen, kalo mungkin Ayah, Bunda, n temen-temen punya jawabnya, hehehe...
"Mengapa kalo aku bisa jawab kuis betul semua, Miss pasti kasih nilai 100?"
"Miss, apa Adam dan Hawa dulu juga punya pusar?"
"Kalo anak-anak Adam dan Hawa dulu menikah, berarti mereka melakukan inses dong?"
Dan masih banyak pertanyaan lain yang pada akhirnya, saya pun akan menjawab belum punya jawabannya, kalau memang saya tak tahu.
Atau menjelaskannya di hari lain. Karena memang benar pepatah Jawa mengatakan "kebo nyusu gudel". Bahwa sebenarnya, kita, yang mengaku dewasa ini harus belajar kepada anak-anak, belajar bersama anak-anak.
Be humble, and see how marvelous is our kid's mind ....
Tak apa bila kita mengakui di hadapan anak-anak. Toh, rasa hormat dan pengakuan mereka terhadap kita sebagai orang tua pun tidak lantas luntur begitu saja.
Salam bahagia,
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H