Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ternyata, Bahagia Itu Bukan Gembira

1 April 2020   23:21 Diperbarui: 2 April 2020   01:00 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : tenang (sumber: pixabay.com|diolah kembali oleh penulis)

Hai, kawan...

Lama ya kita tak bersua di laman ini. Wuiii, pasti banyak hal terjadi, mulai dari membiasakan diri dengan isolasi hingga terbiasa dengan isolasi. 

Dan, semua masih tentang wabah Corona. Ya, selain cuci tangan, isolasi diri adalah hal yang terbaik saat ini, teman.

Pardon me, selama masa #dirumahaja selama ini, apa saja yang kita lakukan? Kalau saya lebih memilih untuk mengikuti kegiatan mindfulness. Meditasi, begitulah orang-orang sering menyebutnya.

Saya tahu mungkin awalnya saya hanya iseng. Namun akhirnya banyak pelajaran yang saya tangkap dari mindfulness ini.

Salah satunya, mari saya bagikan.

Saya belajar, bahwa ternyata bahagia itu bukan sebentuk kegembiraan. Banyak orang mengira, bahagia selalu identik dengan euforia, senang, gembira, ataupun ber-haha hihi bersama orang-orang di sekitar kita.

Acapkali orang menyalahkan kondisi yang terjadi di luar dirinya. Merasa kecewa pada kenyataan, yang tidak seperti diharapkan. Banyak di antara kita seringkali mengharapkan segala sesuatu sesuai dengan ingin kita, harap kita, dan mau kita. Bila yang terjadi tidak sesuai kenyataan yang ada maka kekecewaan hadir menyapa.

Bagi yang berdagang, pasti banyak target yang telah dibuat, namun situasi terbalik dengan adanya wabah virus Corona ini. Pula banyak dari kita yang mungkin telah merancangkan, menyiapkan Lebaran nanti bakal seperti ini, atau seperti itu, namun harus berlalu terdampak pandemi ini.

Hmmm, belum lagi yang punya rencana menikah, maafkan saya kawan, ternyata harus tertunda, atau tetap dilaksanakan tapi tak seperti yang dirancangkan. 

Banyak agenda yang mungkin telah kita persiapkan sebelumnya, dan sekarang kita harus menghadapi situasi yang jauh berbeda dengan dugaan kita.

Sungguh bukan situasi yang mudah untuk kita jalani bersama. Semua seperti terasa begitu berantakan. Semua harapan seperti tergerus keadaan, kenyataan yang suka atau tak suka, mau atau tak mau ini pun harus kita jalani bersama. Ya, kita menjalani situasi tak nyaman ini bersama.

Saya kembali teringat seorang filsuf Romawi ternama, Seneca. Ia pernah mengatakan, kita adalah gelombang dari laut yang sama, daun-daun dari pohon yang sama, bunga-bunga dari taman yang sama. Ya, seperti itulah kita anak-anak pertiwi yang baru sakit.

Kenyataan memang tak bisa berubah. Bila saya boleh berasumsi, kenyataan adalah kejadian yang sudah terjadi dan tak mampu kita rubah lagi. Yang pasti harus kita hadapi. Seburuk apa pun itu. 

Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan Tuhan dari jalan kita, dan rancangan Tuhan dari rancangan kita.

Sadari bahwa kita tak mampu merubah kenyataan. Kita tak mungkin merubah apa yang telah terjadi. Yang pasti kita berada pada masa kini. Respon kita atas kenyataan yang terjadi itulah yang menentukan kondisi kita berikutnya.

Di saat kegagalan terjadi, bagaimana kita mampu bertahan sekaligus tetap berjalan. Apakah hanya cukup dengan menyemangati diri sambil berkata, "Ah, hanya gagal, yuk kita coba lagi?" Mungkin resep yang seperti ini akan berlaku jika tak ada pandemi. Bagaimana kita harus move on? Ya, move on dan terus menjalani hidup.

Sahabatku,... 

Bahagia yang sebenarnya adalah berasal dari dalam diri kita. Rasa tenang yang berasal dari dalam, bukan dari luar. Bukan rasa senang, melainkan tenang.

Bila ketenangan itu tinggal diam dalam diri kita, seberantakan apa pun situasi di luar diri kita, maka kita akan tetap steady, akan tetap terjaga. 

Mari kita cermati, bagaimana kita meresponi sebuah kondisi yang membuat kita bahagia? Apakah emosi kita tetap terjaga, atau emosi kita meluap-luap, merasakan euforia, gembira?

Dan bagaimana bila rasa gagal dan sedih menghampiri kita? Apakah kita menjadi terpuruk, panik, kecewa, atau kita masih dapat menjaga emosi kita untuk tetap tenang?

Ingatkan pada diri kita teman, kebahagiaan itu ada dari dalam bukan dari luar. Ada satu cerita yang ingin saya bagikan sebagai sebuah penutup.

"Sedang cari apa, Kun?" tanya Pak RT pada Masikun yang terlihat sibuk mencari sesuatu di teras depan rumahnya.

"Kunci motor saya hilang, Pak,"

"Terakhir Kali kau taruh dimana?"

"Di dalam rumah."

"Kenapa kau cari kuncinya di luar, Kun, bukannya di dalam?"

"Karena di luar lebih terang, Pak," jawab Masikun sambil terus mencari di teras rumah.

Mungkin kita bisa menganggap aneh ulah Masikun. Namun tanpa sadar, kita pun akan berlaku demikian. Mencari kunci kebahagiaan dari kondisi di luar yang terlihat lebih terang, dari pada di dalam diri kita sendiri. TENANG.

Selamat berdamai dengan situasi, dan selamat mencari tenang dalam diri.

Salam hening,

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun