Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar Berani Menghadapi Takut

19 Maret 2020   18:56 Diperbarui: 19 Maret 2020   19:13 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: fearness (sumber: pixabay.com)

Sore saya ditemani segelas ramuan rempah, temulawak, jahe merah yang harganya selangit, sereh, dan kunyit. Rasa minuman yang tidak nikmat bila dibandingkan coklat hangat saya seperti biasanya. Hanya saja saya sedang belajar mencintai tubuh saya.

Layaknya Indonesia beberapa hari terakhir ini. Dipenuhi dengan tiga kelompok masyarakat. Antara pro lockdown, anti lockdown, atau yang tak perdulikan lockdown. Pada dasarnya kita berangkat dari hal yang sama. Inginkan yang terbaik agar Indonesia keluar dari ancaman ketakutan terhadap Covid-19.

Di antara negara Eropa yang sedang rajin memberlakukan sistem lockdown bagi warganya. Italia, Spanyol, Ceko, Swedia, Norwegia, Polandia, Belanda, Belgia, kemudian menyusul negara Presiden Emmanuel Macron pun memberlakukan lockdown.

Setiap hari berbagai media siap menyuguhkan menu informasi terkini mengenai virus ini. Tinggal klik, dan informasi siap kita nikmati, well ..tengkyu media.

Hiruk pikuk opini masyarakat digelar. Silahkan saja, seperti saya sekarang pun beropini. Di antara begitu banyak sudut pandang massa, satu yang menarik perhatian saya. 

Bukankah pada dasarnya kita semua berangkat dari rasa yang sama? Mencermati sumber dari segalanya adalah rasa takut yang membungkus kecemasan atas apa yang terjadi di masa yang akan datang. Ketakutan yang paling dasar dari manusia, Fear of Death. 

Rasa takut pada dasarnya adalah sama seperti perasaan emosional yang lain. Jika kita mau memahami rasa takut, maka takut pun adalah hal yang baik. 

Takut merupakan alarm atau tanda yang memberikan kita informasi tentang pengetahuan dan pemahaman. Hanya pemberian batas pada rasa takut itulah yang harus kita cermati.

Takut adalah alarm/tanda bagi kita untuk waspada. Mengelolanya, sebagai bentuk dari penerimaan diri, membuat kita sadar bahwa kewaspadaan adalah hal yang kita butuhkan untuk membantu kita survive.

Ketakutan yang berlebih mendatangkan kekhawatiran dan kecemasan. Bolehlah kita waspada. Namun dalam takaran yang berlebih ketakutan semakin akan membuat kita menjadi cemas, bahkan bisa berubah menjadi panik.

Cukupkanlah kita mengulik informasi untuk beberapa menit. Membatasi diri dari hiruk pikuk informasi tentang Covid-19 sangat disarankan. Tidak semua informasi dari media sosial harus kita serap. 

Dilansir dari Theconvertation.com, bahwa sebenarnya manusia lebih cenderung untuk memprediksi hal-hal yang terburuk daripada mengharapkan yang terbaik.

Tanpa kita sadari bahwa sebenarnya di dalam diri kita terdapat kemampuan yang jauh lebih besar untuk mengatasi permasalahan yang ada. 

Ancaman serangan virus corona diterjemahkan sebagai hal yang lebih besar dari pada kemampuan diri kita untuk menanggulanginya. Hal ini secara tidak sadar mendorong kita untuk menjadi cemas.

Menerima rasa takut sebagai salah satu emosi dalam diri kita, membatasi ruang geraknya, dan ikhlas melepaskannya akan jauh lebih menolong kita untuk fokus pada bagaimana kita menghadapi permasalahan itu.

Mari coba renungkan, bukankah menggapai, meraih, mempertahankan sesuatu justru membutuhkan usaha dan energi yang lebih banyak daripada melepaskan sesuatu?

Belajar dari Thomas Alfa Edison, yang berangkat dari rasa takutnya pada kegelapan, maka ia berusaha untuk membuat dunia menjadi lebih terang. 

Pula seorang Pramoedya Ananta Toer, yang sejak kecil mulai belajar untuk menuangkan segala isi hatinya melalui tulisan, saat Pramoedya kecil memahami bahwa ada rasa kurang percaya diri atau tajut ketika berbicara di hadapan publik. Beliau mengolah rasa takutnya menjadi awal bagi kesuksesannya menghiasi dunia sastra Indonesia dengan karya guratan penanya.

Sadari bahwa sebenarnya rasa takut hanyalah sekedar emosi, yang bisa kita manfaatkan. Mari kita menerimanya, menyadari keberadaannya, lalu melepasnya ikhlas.

Seperti kita tahu bahwa sebenarnya rasa takut hanyalah sebatas pemikiran kita, bukan apa yang sesungguhnya akan terjadi.  

Kala Solo dinyatakan dalam status KLB, ada begitu banyak keresahan dalam benak warga. Saya sendiri tak dapat memungkiri rasa takut itu. Setiap ada bertambahnya pasien positif terinveksi covid19, rasa cemas seakan menahan saya untuk melakukan swakarantina di rumah.

Di saat yang lain dapat melakukan WFH (work from home), saya sebagai seorang buruh korporat harus tetap menjalankan aktivitas kantor saya. Saya pun tak dapat menyalahkan atasan saya. Sebagai seorang kapitalis, ia harus mendapatkan cuan. Memilih untuk berdamai dengan rasa takut, saya berusaha sedapat mungkin menjaga diri.

Bukan menantang maut atau tak ingin mengisolasi diri. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab saya sebagai pekerja?

Salut, bagi para tenaga medis di seluruh bumi Pertiwi yang telah dan tengah berjuang bagi kami, dan kesehatan seluruh masyarakat Indonesia...ganbatte, and may God bless you in all what you do.

Ketakutan, kecemasan, kemarahan hanya menghabiskan energi, seperti kita tahu, hati yang gembira adalah obat. Setiap tawa dan kegembiraan menghasilkan hormon yang membawa pada kekebalan tubuh.

Stop menyalahkan alam dan segala peristiwa yang ada, dan mari bertanggungjawab pada kekebalan diri.

*Solo.....Sadari, bahwa badai pasti akan berlalu. Siapakah diantara kita yang karena kekuatiran, mampu menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun