Sedangkan Emak, dia hanya tahu bagaimana supaya Toloy, anak semata wayangnya bisa sekolah, sehat, dan makan tiap hari dengan kenyang. Tak banyak yang Emak minta.
Pernah suatu ketika Toloy bertanya, "Emak, pengen pergi jauh dari dusun ini ga, Mak?"
"Buat apa?"
"Kerja di luar negeri. Kayak Emaknya si Gandung. Emaknya kalau pulang pasti bawa makanan banyak yang enak-enak. Pake baju yang bagus-bagus. Emak ndak pengen baju yang bagus gitu, Mak?"
Emak waktu itu hanya tersenyum. Toloy tak pernah tahu apa arti senyuman Emaknya. Bertanya pun, Emak juga tak pernah mau menjelaskannya.
Kadang Toloy melewatkan musim libur sekolahnya ini hanya dengan duduk-duduk di bawah pohon kelapa yang tingginya tak seberapa dibanding dengan pohon kelapa di pinggiran pantai yang lain.
Toloy hanya berpikir, tempat dusunnya yang cukup indah. Segalanya baginya cukup indah.
Ada tempat bermain di pantai, sekehendaknya. Berenang sepuasnya, bahkan jika ada kapal yang berlabuh, ia ikut membantu mengangkat ikan -ikan hasil tangkapan tetangganya, dan tak jarang ia pun mendapat bagian seember penuh ikan untuk dibawa pulang.
Bapak tak pernah marah, Emak pun tak pernah melarang. Kata mereka yang baru pulang dari Ancol, mereka bilang, Ancol ternyata adalah pantai. Lalu, apa bedanya dengan pantai di hadapannya sekarang?
Ia mencintai pantainya, ia mencintai Emak, meski hanya menghidangkan sepiring nasi dengan ikan asin, namun selalu sedap baginya.
Bapaknya bukan orang berduit. Kadang pulang melaut membawa hasil yang hanya beberapa uang kertas yang lusuh,Dan beberapa recehan saja. Tapi, Bapak juga tak pernah mengeluh. Kalau Bapak sakit, Bapak hanya di rumah, tiduran sebentar, lalu berangkat melaut lagi.