Toloy heran. Sejak saat itu ia mengerti, bahwa ternyata ia lebih sakti dari mbah Kerto dan lebih pintar dari Pak Dokter yang kadang datang ke sekolahnya menyuntik lengan anak-anak SD kelas 3 dan 4, yang menurut Pak Dokter, imunisasi.
Liburan sekolah kali ini pun bukan yang terbaik bagi Toloy. Rustam lebih beruntung. Orang tua Rustam mengajaknya ke Ancol. Betapa gembiranya Rustam. Senyumnya mengembang saat sebuah mobil sewaan mengantarkan keluarga Rustam ke Ancol.
Toloy tertunduk lesu, pulang ke rumah dengan wajah yang sangat masam. Emak mengajaknya makan siang. Kali ini dengan ikan tengiri hasil tangkapan Bapaknya semalam.
"Mak, kita ga ke Ancol yha, Mak?" Toloy membuka makan siang dengan malas.
"Belum," emaknya menjawab cepat.
"Napa?"
"Yo, nanti lihat nek Bapakmu dapet ikan banyak, trus ke Ancol. Lha memang kamu tahu Ancol itu tempat apa?"
"Yo ndak tahu to, Mak," Toloy menyambar ikan asin buatan Emak yang dibalut dengan sambal lombok ijo bersama dua sendok nasi yang masih mengeluarkan asap berbau gurih.
Toloy tak pernah tahu, Ancol itu tempat seperti apa. Ia hanya tahu, kata mereka itu tempat yang bagus. Bermain air. Begitulah kata mereka.
Emak dan Bapaknya juga tak pernah tahu apa itu wisata. Yang Bapak tahu hanya menghabiskan kewarasannya di tengah laut untuk meraup ikan dengan jaring yang tiap pagi dibersihkan dan diperbaiki kalau ada yang rusak.
Perahu kecil milik Bapak itu pun hanya sewaan dari Pak Bejo, tetangga sebelah yang punya sedikit uang lebih untuk membangun rumah dengan cat tembok yang lebih berwarna cerah dibanding dengan tetangga yng lain.