Anak kecil berlari, berjingkat di atas sepatu merahnya yang baru saja dibeli dengan gaji sang Ayah yang tak seberapa.
Anak kecil dengan arum manis yang hampir menutupi wajahnya, berjalan menikmati malam, berada di bawah sinar lampu pasar malam.
Tangan kirinya erat menggenggam jemari sang Ayah yang berjalan di sisinya. Sementara sebuah boneka tedy bear hasil lempar kaleng sang Ayah kini ada dalam himpitan ketiaknya.
Hampir terpesona ia saat melihat berbagai macam permen manis yang dijual di dalam kotak-kotak kecil berwarna-warni. Ada permen bulat panjang, kata Ayahnya, itu lolipop, dan ia tersenyum saja.Â
Kali ini gadis kecil itu mengenakan baju kesayangannya, ada gambar seekor gajah kecil di bagian dadanya. Ia suka gajah. Badannya yang besar dan hidungnya yang panjang, serta telinga yang lebar selalu menjadi pusat perhatiannya.
Kata Mama, gajah punya ingatan yang sangat bagus. Ingin hatinya seperti gajah, hingga ia tak perlu merepotkan Mama yang selalu saja mengingatkannya untuk menaruh sepatu sekolah di rak samping kamar.
Malam ini, ia berangkat ke pasar malam bersama Ayahnya. Ia tahu Ayahnya sangat mencintainya. Ia tahu Ayahnya selalu menepati janji untuk pergi ke pasar malam, usai ia selesai dengan makan malamnya. Semua sayur dimakannya, semua masakan Mama disantapnya, tanpa pilih-pilih.
Berjalanlah ia menghampiri sebuah komedi putar, berdiri lama di luar pagarnya. Terus saja matanya tak berkedip melihat komedi putar dengan beragam kursi yang mungkin nyaman diduduki. Ada yang berbentuk kuda bertanduk, panda, gajah, kelinci, kucing, anjing, bahkan ada yang berbentuk badut.
Oh ya, badut, seperti dalam buku bacaan yang sering dibacakan Mama sebelum tidur. Terbayang olehnya muka badut dengan hidung bulat warna merah, perut gendut dan rambut kuning seperti mie kuah buatan Mama yang sangat disukainya.
Pernah suatu ketika ia pergi ke pasar malam. Entah mengapa, gandengan tangan ayahnya terlepas begitu saja. Ia menangis tersedu di sudut sebuah tenda, tak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba tanpa tahu dari mana asalnya, seorang badut kecil memberikan sebuah balon berwarna biru untuk untuknya, dan bernyanyi, mengajaknya bercerita hingga malam makin menjelma hitam.
Gadis itu tak mampu menahan tawa saat si badut kecil menari dan mebggoyangkan perut gendutnya. Seperti gajah yang menari di hadapannya. Ya, seperti gajah kecil kesukaannya.
Suara badut itu memang tak seindah suara Ayahnya saat memainkan gitar di rumah. Dan tariannya sangat payah. Tapi ia tetap saja tertawa. Ia ingat kata Mamanya, berterimakasih adalalah hal yang sangat penting.
Lalu kata gadis itu pada si badut,"Aku Tak tahu bagaimana menari dan menyanyi sepertimu, tapi aku mau menari bersamamu lagi, Badut," lalu kaki mereka melompat dan berjingkat-jingkat, menggoyangkan pinggul, menggoyangkan perut dan tertawa bersama.
Kemudian sayup-sayup, gadis kecil mendengar ada satu suara memanggil namanya, "Nak...gadis kecil Ayah...kau dimana?"
Gadis kecil itu berdiri, melompat dan  menjerit, "Ayah,....aku di sini!!"
"Diam di situ, Ayah akan datang," sekonyong-konyong ada tubuh Ayahnya yang telah lelah mencari, membuka kedua lengannya dan memeluknya erat.
"Ayah, aku takut, Ayah ayo pulang, Ayah ... aku ingin pulang," isak tangis gadis kecil itu memecah tangisnya dalam pelukan sang Ayah yang membuatnya tenang.
"Iya, Nak, ayo pulang, ayo kita pulang," gadis kecil itu masih memegang balon warna biru. Ia menoleh dan tak didapatinya lagi badut kecil yang menemaninya.
Ia tak tahu kemana badut kecil berperut gendut itu pergi. Tapi gadis kecil itu mengingatnya sepanjang waktu, bersama balon warna biru yang kini masih terus menghiasi kamar tidurnya.
Tiap ada pasar malam, si gadis kecil itu selalu ingin mengunjunginya. Ia senang, meski hanya sebuah arum manis saja yang dimintanya.
Satu pertanyaan yang selalu dilemparkan pada Ayahnya, "Ayah, di mana badut kecil itu, Yah? Bolehkah ia jadi temanku?"
Dengan tersenyum, sang Ayah pun menjawab, "Ya, dia sudah menjadi sahabatmu, Nak. Meski Ayah tak tahu dimana dia, tapi ingatlah, Ayah pun akan selalu mencarinya."
Tangan si gadis kecil makin erat memegang jemari Ayahnya. Kadang ia ingin melepaskannya, agar ia bertemu badut itu, namun jemari sang Ayah adalah kekuatannya.
Ia tahu mencari badut kecil seorang diri bukanlah perkara mudah. Namun Ayahnya tahu apa yang harus dilakukan untuk menemukan kembali sahabatnya yang berhidung merah besar itu.Â
Dan ia percaya, Ayahnya pasti akan menemukan badut sahabatnya itu, meskipun ia tak pernah mengerti berapa pasar malam lagi yang harus ia lewati untuk kembali bertemu badut kecil itu.
*Solo....waktunya bercerita....just like story book children. Ini lagu kesukaan saya saat kecil, selalu diputarkan musik analog Bapak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H