"Hentikan langkahmu, Cornicus, jangan dekati dia," sahut Thea sambil menghunus pedangnya.
Lelaki itu berperawakan tegap. Dadanya bidang. Tingginya sekitar tiga meter. Wajahnya sungguh tampan. Sangat tampan. Matanya begitu tajam. Seakan menghanguskan segala sesuatu yang dilihatnya.Â
Senyumnya sangat indah. Suaranya berat namun penuh ketegasan. Bibirnya merah. Rambutnya ikal, tak panjang. Oh, tak pernah kulihat seorang pun segagah dia.
"Tuanku Puteri, perkenalkan namaku, Cornicus,"senyumnya kembali mengembang.
"Jauhi Tuan Puteri. Atau sebaiknya sekarang kita bertarung di sini, Tanduk jelek," Thea masih menghunus pedang besarnya yang kini menyalakan sinar putih yang menyilaukan. Dari lengan kirinya mengeluarkan perisai. "Tuan Puteri, pergilah. Cepat lari ke tempatmu semula. Cepat!"
Oh, aku tahu Thea. Tapi lelaki ini....tidak, tidak...aku...tak mungkin pergi. Entahlah sesuatu seperti menarikku pelan, sangat lembut.Â
"Jangan kau dekati dia !!" gertak Thea dan dalam sekali gerakan lengan kiri pria itu terkena sabetan pedang Thea.
Tanpa sedikitpun senjata di tangannya, lelaki yang bernama Cornicus itu hanya mengayunkan tangannya, seperti seorang  pemimpin musik klasik mengayunkan tongkatnya. Tubuh Thea terlempar sejauh tiga meter dari tempat ia berdiri semula.
Namun aku berdiri bergeming. Kulihat matanya yang biru. Begitu dalam. Aku melihat sesuatu. Dari birunya lautan, dari dalamnya samudera raya, keluar berbagai macam makhluk-makhluk mengerikan.Â
Bersisik layaknya ikan, bertanduk seperti kambing, mulutnya mengaga seperti macan yang merana kelaparan. Taringnya bak pedang begitu besar. Sangat menakutkan. Mereka, berjajar di cakrawala samudera. Bermunculan di atas air laut yang berombak kecil.Â
Langit mendung. Berubah menjadi merah. Langit diatas samudera itu menyala seperti lautan api. Petir menyambar di langit. Entah malam atau siang, waktu seperti tak  ada bedanya.