"Tuan, bolehkah saya bertanya? Siapa Langboard?"tanyaku. "Setiap orang membicarakannya. Bahkan Ayah pun membicarakannya,"
Tuan Dunberg tak segera menjawabnya. Kami melangkah menikmati sebuah lorong megah yang ujungnya terdapat jendela-jendela dengan mozaik indah karya seni yang sangat luar biasa.
Hingga sampailah kami di sebuah ruangan, mirip dengan perpustakaan. Ada begitu banyak buku tersusun rapi dalam rak-rak buku yang menjulang tinggi. Mungkin tingginya antara 5 hingga 10 meter. Sungguh suatu ruangan belajar yang luar biasa megah bagiku.
Untuk sesaat aku mengagumi segala ornamen dan semua buku yang tertata rapi diantara rak buku yang terbuat dari kayu kuno, semua perkamen-perkamen kuno, buku-buku tebal, dan semuanya itu tersusun menurut huruf yang menyerupai simbol-simbol kuno purbakala.
Di tengah ruangan ini disediakan sebuah meja yang cukup lebar berbentuk segi enam, terbuat dari kayu pula. Tanpa ukiran. Keenam sisi meja tersebut tersekat oleh sekat kayu yang berukir daun-daun berulir.
"Mari Tuan Puteri, kita ke ruang dalam,"ajak Tuan Dunberg.Â
Kami memasuki ruangan yang lebih dalam lagi. Tuan Dunberg menuju ke sebuah dinding. Oh, dinding? Ya, dinding. Dan ia menghilang menembus dinding itu.
Aku termangu di depan dinding itu sendiri. Mencoba untuk mencari gagang pintu atau tombol rahasia yang tersembunyi di sekitarnya, tapi aku tak segera menemukan. Ah, bodoh sekali aku. Lalu bagaimana mungkin Tuan Dunberg menghilang dibalik dinding itu?
"Hhh, mengapa aku bisa sebodoh ini? Tuanku, ampuni hamba. Hamba lupa Tuanku Putri belum mempelajari satu hal pun tentang mantra pembuka dimensi," Tuan Dunberg yang berjanggut abu-abu itu tiba-tiba muncul dari dinding dan membuatku melompat terkejut.
"Tuan...!! Ooh..!!" aku melompat selangkah ke belakang.
Tuan Dunberg menggandeng tanganku lalu berkata, "Razpireti prostora," lalu kami memasuki sebuah tempat yang lebih luas, menyerupai sebuah tempat bersekolah yang sangat luas.Â