7 Oktober. Ya, pagi yang cerah untukku. Seharusnya. Tapi, kuawali hari dengan begitu terburu-buru. Tugas kantor yang masih menumpuk, dan beberapa event kantor yang harus diselesaikan programnya.
"Mam, aku brangkat ya,"seruku dibalik pintu kamar Mami yang masih tertutup. Kubuka pelan pintu itu, kulihat Mami masih sare. Kututup kembali pintu kamar pelan-pelan.
Semalam jantung Mami kambuh. Akhir-akhir ini memang Mami semakin sering sakit. Diabetesnya sempat kambuh meskipun tak pernah dilewatkannya ritual minum obat dari dokter. Tapi, sepertinya kondisi Mami tak berangsur sehat.
Ah, sudahlah. Aku tak mau berfikir buruk. Mami orang yang cukup kuat. Baru selangkah kutinggalkan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Mami mencoba berdiri dan terhuyung.
Kupapah tubuhnya yang dua kali lebih besar dari ukuran tubuhku, dan kududukkan ia di sebuah kursi di samping kamarnya.Â
Wajahnya tak lagi putih. Ia sangat pucat. Hampir hijau. Andai saja hari ini kantor mengijinkanku, pasti aku akan menemaninya di rumah.
"Duduklah di bawah sebentar, Ndhuk," ucapnya pelan.
Kuturuti saja apa katanya, aku tak berani sedikit pun membantah. Tetiba, tangan keriputnya ditumpangkan di atas kepalaku. Aku tahu setiap hari Mami selalu melakukannya untukku. Mendoakanku, sebelum aku melangkah beraktifitas.
Lalu ucapnya pelan,"Pergilah, kasih Allah menyertai langkahmu, aku berdoa, di hari ulang tahunmu ini, kau diberi hikmat dan kesehatan, kekuatan dan keberanian. Amin." diciumnya pelan keningku.Â
Bibirnya dingin. Tapi pelukannya hangat. Aku mengingatnya erat. Hari itu ulang tahunku. Dan Mami adalah orang pertama yang memberikan ucapan itu untukku.
Oktober berlalu dengan cepatnya. Angin dinginnya meniup daun-daun di depan rumahku. Mungkin memang sudah saatnya daun-daun itu berguguran. Entah mengapa, musim sekarang tak pernah bisa ditentukan. Aku tak pernah mengerti.