Larut di bawah matahari yang masih giat menyengat ubun-ubun tukang borongan di pinggir jalan, lelaki tua ikut dalam barisan lelaki pemecah mimpi
Lelaki tua menghela kembali nafasnya, disela kerinduan matahari siang tuk membakar ototnya yang telah mulai keriput.Â
Debu dan asap hitam menyambutnya sejak pagi tadi, berlomba mengotori tubuh renta sang pejuang mimpi, mencoba menenun harap demi senyum sang istri
Lelaki tua duduk termangu menatap riuh jalan, penuh mobil berdesakan bertumbuh dan beranak, setiap hari berkembang dan bertambah banyak. Peluh dan keringat membasahi tubuh dan tulangnya yang makin mengering.
Lelaki tua membuka bekal makan siang terbaiknya, gurih nasi putih dan sepotong tahu bacem, serta sedikit sambal ternikmat, yang dibumbui rasa cinta yang hangat dari wanita tuanya.
Oh, bukan lunch mewah dengan meja buffet penuh aneka hidangan dengan hiasan nan megah.Â
Sekotak nasi putih yang dibawanya pagi tadi penuh harap dan ucap, kan ada nikmat yang mampu ia kecap.
Sekotak nasi ia nikmati, memberi kenikmatan yang pasti tanpa basa basi. Sekotak nasi kembali memberi sebakul tenaga tuk pulihkan raga, memecah batu, menghalau debu.
Tak perlu era dan waktu tuk tentukan akhir dari semua nikmat yang terasa, hanya aba-aba si mandor yang tertekan target kerja.
Sekotak nasi bersahabat erat dengan lelaki renta dimakan jaman, menanti senja berada di ujung jalan, dan menepi
Menjalin rajutan peluh tanpa keluh di atas roda sepeda tua, beranjak pergi tinggalkan waktu yang menggulung tikarnya, memanggul era, songsong senyum manja di sudut bibir wanitanya yang telah termakan usia