Bagi saya status pernikahan mereka inilah yang justru menjadi "pagar" bagi saya untuk mawas diri. Mereka pun selama ini juga masih bergaul dan menempatkan saya sebagai wanita single yang bisa berkomitmen dalam komunitas mereka.Â
Bahkan seringkali kami selalu bertukar pikiran, berdiakusi lewat berbagai media sosial. Kami tahu seberapa jauh hubungan kami.
Apakah mereka tak pernah curhat? Hehehe, jangan salah. Benar apa yang diulas mbak Pretty Woman.Â
Mereka seringkali chating saya dan membagi pengalaman sehari-hari mereka dan mereka pun terkadang hanya bercerita sepanjang hari tentang pekerjaan mereka. Well, they are human beeing, aren't they?
Apakah saya secara pribadi menaruh rasa ingin memiliki? Tunggu.... :) Tunggu dulu, kembali seperti apa yang saya ungkapkan di atas. Status menikah mereka adalah "pagar" pembatas bagi saya.
Yups, benar sekali. Mengenal mereka tentu saja minimal mengenal istri dan anak-anak mereka dari cerita dan sharing mereka.Â
Pernah suatu ketika ada seorang teman yang tengah menghadapi perceraian dengan istrinya, karena ia diduga selingkuh dengan wanita lain yang juga saya kenal dalam komunitas kami.
Bapak ini bercerita panjang lebar, tinggi dan dalam, ya... Intinya pembelaan diri terhadap tuduhan istrinya. Lucunya, saya pun mengenal istrinya. Setiap malam masing- masing mereka chat saya.Â
Tiap kali Bapak ini curhat ke saya, lalu selang beberapa menit si istri juga chat saya secara pribadi. Hal yang sama, pada dasarnya,...komunikasi.
Apakah saya langsung memanfaatkan sikon tersebut. Oh, ya mungkin bagi saya bisa saja itu terjadi. Namun"pagar" itu tak bisa saya lewati. "Pagar" itu selalu nyata. Meskipun Bapak tersebut pernah satu kali berkata ingin menjalin hubungan lebih intim dengan saya, "pagar" itu yang menjadi pegangan saya.
Pada akhirnya, kembali lagi pada tujuan kita berelasi. Tujuan awal relasi yang kita bangun, membawa kita untuk selalu tetap pada prinsip menjaga jarak.Â