Berdiri di ambang batas waktu, mencoba meniup seuntai huruf hidup diantara derap harap, karyakan sekelumit wajah yang tertumpah di atas kertasÂ
Lepas mendulang cinta pada asmara nan menggoda dawat atas pena sastra dalam bentukan rumpun aksara
Bangkit aku dari mati pada kepasrahan diri, bilamana mendapatkan luhur pelukmu dulu yang membiusku dalam rimba agung pesona santunmu
Diatas batas tepi luka yang tertoreh dalam segara imaji yang mampir, meski hanya sekejap namun tak pernah mampu kau tangkap
Langkahmu berderap membuka tirai nirwana, telah langkahi batas lini pengabdian anak-anak panah pada busurku yang siap beradu dengan baju zirahmu
Mendapatimu kini berdiri berhadapan di bawah panji lawan, aku tak pula heran
Selangkah lagi kau maju, setebal apa pun perisaimu, anak panah ini siap mencari celah menuju jantungmu
Kumohon jangan lagi kau melaju, karena ku tahu dalam beku dan diammu, kau tak mampu tuangkan kembali arak cinta dalam cawan emas asmara kita yang dulu kau puja
Restu nirwana telah memutuskan kau dan aku berada di lini yang berbeda, bukan untuk saling menyapa dalam asmara yang kita duga sama
Baiklah damai menerawang jiwa, kumohon jangan ada murka, biarkan aku menutup masa ini dengan asa, kau tak lagi ingat pernah punya asmara dalam cawan berjudul cinta
*Solo, tiga nol delapan satu sembilan
#guecintaindonesia #srikandi #wayangjawa #ladywarior
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H