Tak ada jawaban maupun sanggahan dari mulut mungil Kartika. Ia tahu betul apa yang harus ia lakukan. Khotbah di gereja yang selalu ia dengar, bahkan dari sejak ia ikut dalam Sekolah Minggu, selalu terngiang dalam telinganya.
Namun akal logikanya bergejolak. Selama ini ia bertarung dengan perasaan dendam dan amarah dalam batinnya.Â
Dilihatnya Tarti. Tika tetap membisu. Tak sekejap pun dialihkan pandangannya dari Tarti yang juga bergeming menatapnya lembut.
 Tetes air mata mengalir dari pelupuk mata bulat nan indah milik Kartika. Ada aliran lembut yang mulai menghangat. Ia tertunduk menangis, namun ia tak tahu menangis untuk apa.
Semusim telah berlalu. Musim dingin yang ada dalam perjalanan hidupnya kini hampir habis.Â
Pula ia tak pernah mengerti, mengapa ia memutuskan untuk duduk dan menunggu tiga manusia keji yang telah bergelar napi. Ia hanya ingin musim semi kembali hadir dalam rangkaian jalan hidupnya.
Kini di hadapannya duduk tiga orang yang telah menghantuinya selama ini. Menempatkannya dalam musim dingin.Â
Diremasnya ujung kemeja putih yang membalut tubuh mungilnya. Dipejamkan matanya, pelan ia ucapkan tiga kata ajaib yang disimpannya lama dalam nuraninya "Aku mengampuni kalian."
Tiba-tiba diangkatnya wajah oval yang ayu. Ditatapnya tiga lelaki yang terdiam membisu, lalu dari mulut mungil terdengar kalimat disertai senyuman tanpa ragu.
"Aku mengampuni kalian," ujar KartikaÂ
Ditatapnya Tarti yang pula tersenyum padanya. Semenjak itu Kartika tahu, ia mulai melangkah memasuki musim semi dalam hidupnya.