Metokan. Apakah Anda pernah mendengar istilah tersebut? Merasakan kebersamaannya? Kehangatan suasana akan arti kebersamaan yang tersaji dalam setiap masakan? Menikmati arti toleransi dan kesatuan tanpa ada jarak dan perbedaan?Â
Demi sebuah arti kebersamaan dan toleransi yang mendalam, maka penulis melakukan perjalanan ke sebuah dusun bernama Merapisari.
Kabut dusun Merapisari yang terletak di kaki gunung Merbabu segera terusir dengan cerahnya mentari. Rasa dingin yang sempat membalut kulit segera hilang oleh senyum beberapa warga yang sejak pukul 08:00 WIB mulai memadati Balai Dusun Merapisari.
Ya, hari itu ada acara metokan yang diambil dari kata dasar dalam bahasa Jawa, "metu" ( keluar ), dengan diimbuhi akhiran -an, sehingga terbentuklah kata metokan.Â
Metokan sendiri menurut Bp. Supoyo Damono Ignatius (70), seorang sesepuh dusun Merapisari, merupakan suatu sarana untuk mewujudkan rasa kebersamaan dan toleransi yang lahir dari tiap warga dusun.
Lebih lanjut, Bapak Supoyo Damono yang lebih akrab dipanggil Pak Poyo ini menjelaskan bahwa budaya metokan merupakan sebuah inkulturasi dari budaya Jawa yang dimasukkan ke dalam agama.
"Metokan bukan berasal dari agama tertentu. Metokan adalah tradisi. Ini adalah budaya Jawa. Dan Metokan ini tidak bertentangan dengan ajaran agama mana pun. Karena Metokan ini adalah merupakan ucapan syukur," begitulah ungkapan Pak Poyo.
Selain untuk mewujudkan rasa kebersamaan dan rasa toleransi antar warga dusun, acara metokan bagi warga dusun Merapisari juga diadakan dengan tujuan untuk mencapai kedamaian dan ketentraman.
Hal tersebut tercermin dari dua sajian wajib yang diharapkan ada dalam setiap makanan yang dibawa oleh setiap warga dusun Merapisari.
- Ngetokke Sego Golong (mengeluarkan nasi "golong"). Nasi golong adalah nasi putih biasa yang dibentuk setengah lingkaran, disajikan dalam satu piring tersendiri. Nama "golong" sendiri diambil dari istilah Jawa, "nganti golong gilinging manah"(dengan segenap hati kita mengetahui kelemahan kita, dan berbalik, bertobat untuk menjadi kebaikan).
- Ngetokke kupat, yang juga diambil dari falsafah Jawa, "ngaku lepat"(mengakui kesalahan).
Untuk menghormati tradisi Metokan ini, para perangkat dusun bahkan membuat program di setiap tahunnya ada Metokan dalam 3 acara penting warga.Â
Pada saat Lebaran, Malam Tirakatan 17 Agustus, dan pada saat Perayaan Hari Ulang Tahun Dusun.
Metokan sebagai wujud kebersamaan dan rasa toleransi warga dusun Merapisari ini sudah diadakan sejak tahun 1968. Setelah 51 tahun ternyata acara metokan ini secara turun-temurun tetap dilaksanakan sampai dengan sekarang.Â
"Kalau saya ya, tidak pernah merasa terpaksa untuk menyempatkan diri memasak buat acara metokan ini," demikian kata Sutimah (42) salah satu warga dusun Merapisari.Â
Menurut pengakuannya, acara yang sudah turun-temurun diadakan oleh dusun Merapisari ini adalah acara yang tak boleh terlewatkan.Â
"Memang metokan kuwi ora wajib, tapi nek ora ono metokan kuwi rasane ora afdol, ora sreg. ( memang metokan itu bukan hal yang wajib bagi semua warga, tetapi kalau tidak diadakan acara metokan rasanya kurang afdol, ada yang kurang)," begitu ungkap Sutimah.
Hal ini pula diungkapkan oleh beberapa anak-anak muda di dusun tersebut, yang menyambut metokan dengan antusias layaknya sebuah acara yang sudah ditunggu-tunggu.
"Ben wong Jowo ora ilang Jawane (agar orang Jawa tidak hilang Jawa nya. -agar tidak lupa adat dan tradisi-red)." Begitulah ungkapan Vina, seorang remaja berusia 17 tahun, tatkala penulis bertanya mengenai pendapatnya tentang acara dan tradisi Metokan.Â
Mereka pun menyadari bahwa acara metokan semacam ini sangat perlu dilestarikan, agar generasi muda pun bisa terus mencintai kearifan budaya leluhur mereka.
Acara metokan dikemas dengan sederhana oleh para perangkat dusun. Terdiri dari pembukaan, doa-doa oleh beberapa alim ulama yang mewakili para warga yang beragama Islam, Kristen, maupun Katholik.
Sederhana namun bermakna.
Ada satu hal yang unik terlihat pada saat akhir acara ini. Para warga baik pria maupun wanita, besar ataupun kecil, dewasa maupun anak-anak, semua berebut untuk berbaris melingkar untuk saling bersalam-salaman, sebagai tanda "peleburan kesalahan dan kekeliruan" yang mungkin tercipta di antara para warga dusun Merapisari.
Seusai bersalaman, ini acara yang tak kalah unik. Para warga saling berbagi dan bertukar apa pun yang dibawa oleh warga yang lainnya.Â
Ada beberapa diantara mereka yang menikmatinya di Balai Dusun bersama para warga yang lain, namun ada pula yang membawanya pulang ke rumah mereka masing-masing.
Menikmati keindahan di salah satu sudut dusun di negeri tercinta ini dengan santun dan kearifan lokal budaya setempat, membuat penulis pun larut dalam kebersamaan dan rasa toleransi yang tinggi kepada sesamanya.Â
Lebaran tahun ini membawa momen yang indah, dimana semua diperbolehkan untuk merasakan kemenangan untuk semua.
Pukul 09:25, acara metokan sebagai lambang silaturahmi antar warga telah usai. Namun tradisi yang turun-temurun diwariskan oleh para leluhur diharapkan akan terus terjaga.
Keteladanan dari para orang tua merupakan kunci utama bagi para pendahulu, untuk terus mewariskan tradisi indah yang berbalut toleransi dan persatuan ini bagi para generasi penerus bangsa.
Hal inilah yang dipegang teguh oleh warga dusun Merapisari sehingga nilai luhur para pendahulunya tetap lestari.Â
Tanpa terasa, kabut gunung Merbabu mulai turun. Sengatan Sang Surya tak lagi terasa panas. Namun rasa kebersamaan yang tercipta di Dusun Merapisari tak pernah pudar. Semakin pekat, sepekat toleransi yang tercipta diantara warganya.
#DibikinSimpel  #AntiRibet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H