Aku adalah seorang gadis belia yang terlahir dari sebuah keluarga sederhana  dengan latar belakang pendidikan kedua orangtua yang keduanyapun tidak tamat dari Sekolah Dasar (SD). Memang benar adanya, kedua orangtuaku ditakdirkan menjadi sepasang suami istri yang hidup sederhana di sebuah perkampungan jauh dari hirup pikuk kebisingan kota dan hidup hanya dengan memanfaatkan kebaikan alam yang diperolehnya dengan cara bertani. Menanam bulir demi bulih benih padi supaya bisa hidup dan menghindupi anak-ananknya yang kelak menjadi harapan serta dambaan.Â
 aku memang hidup dengan penuh kesederhanaan, namun kesederhanaan itulah yang menjadikanku tumbuh menjadi pribadi yang penuh dengan empati serta semangat belajar yang tinggi demi merubah pedihnya kehidupan yang miskin akan ilmu, pengetahuan, pengalaman dam juga tentunya jauh dari kemoderenan. Sedari kecil atau mulai dari bangku sekolah dasar, aku tekun dalam belajar dan mengasah imajinasiku agar suatu saat aku bisa melankutkan pendidikan ini hingga menjadi seorang sarjana dengan tingkat pendidikan terbaik di indonesia yaitu menjadi sarjana di Ibukota Indonesia yang tak lain adalah Jakarta.Â
Mimpi besar itu tentunya sudah kutanampan jauh didasar lubuk hati serta imajinasiku yang suatu saat pasti akan terwujud dan menjadi kenyataan asalkan diiringi dengan do'a dan tentunya usaha. Perjuangan memang tidak mudah, perjuangan meraih mimpi ini kuhadapi dengan kesusah payahan. Sedari sekolah dasar bahkan aku sudah selalu berambisi untuk menjadi juara kelas agar kelak 6 tahun kemudian bisa masuk di sekolah tingkat pertama dengan mudah. Setelah masuk sekolah tingkat pertama dengan mudah, aku harus memikirkan bagimana caranya untuk bisa masuk sekolah menengah atas (SMA) dengan mudah.Â
Tentunya selama aku SMP, aku berkontestasi dengan teman seangkatanku untuk bisa mendapatkan juara kelas yang tentunya itu bisa diperhitungkan kelak ketika aku masuk ke bangku SMA. Namun ternyata, prestasi akademik saja tidak cukup untuk aku bisa masuk ke SMA terbaik yang ada di daerahku. Aku kembali mencoba untuk ambil andil dalam bidang non-akademik. Aku mulai ikut berbagai organisasi, seperti pramuka, paskibra, rohis, PMR bahkan ikut mencalonkan diri menjadi ketua osis. Namun pada saat pencalonan ketua osis, aku hanya menjadi wakil ketus osis, karena ada calon lain yang lebih kompenten dan mendapatkan jumblah suara yang lebih banyak dariku.Â
Cerita berlanjut sampai dengan penghujung tahun 2016, aku dinyatakan lulus dengan salah satu siswa nilai terbaik. Kelulusan dengan nilai tersebut menghantarkanku menuju sekolah menengah atas (SMA) tujuanku yang tentunya dengan jalur undangan dan tanpa mengikuti tes. Melihat teman-temanku yang masih bingung untuk melanjutkan sekolah menengah atas, aku sudah berpikir untuk bisa berkuliah di kampus impianku. Namun tentunya keeinginanku masih panjang untuk tercapai dan butuh waktu tiga tahun lamanya untuk sampai di bangku perkuliahan.Â
Cerita berlanjut ketika aku menjadi siswa di sekolah terbaik di kabupatenku yang berada di ujung pulau sumatera. Bisa masuk ke SMA terbaik yang ada di Kabupatenku tentunya menjadi kebanggan tersendiri dan tanggung jawab yang berat juga. Bagaimanapun aku harus menyelesaikan pendidikan ini dengan sebaikbaiknya dan memanfaatkan kesempatan ini agar aku bisa melanjutkannpendidikan di Jakarta dan bisa menjadi sarjana sesuai dengan mimpiku. Singkat cerita, akhirnya selama aku duduk di bangku SMA sudah dipastikan selama 3 tahun lamanya menjadi juara kelas dan sesekali juga menjuarai juara umum. Itu semua tentunya tidak mudah, kulalui dengan keluh kesah. Disaat mungkin orang lain disepertiga malamnya tertidur nyenyak, aku bangun dan terjaga demi melaksanakan rutinitasku yaitu belajar dan mengerjakan tugas disepertiga malam.Â
Karena bagiku waktu terbaik untul belajar adalah disepertiga malam. Selain itu, aku adalah siswa di kelas yang datang paling pagi dan pulang paling sore atau bahkan menjelang maghrib dan tidak jarang juga azan maghrib berkumandang aku masih diperjalanan pulang. Itu semua dikarenakan aku yang selain aktif dalam bidang akademik, akupun aktif dalam bidang non-akademik. Sedari kelas 1 SMA aku sudah mengikuti organisasi paskibra atau pasukan pengibar bendera pusaka dam menjadi pengurus dibidangku. Alasanku selalu datang paling pagi adalah untuk menyiapkan bendera merah putih untuk dikibarkan dan alasanku pulang paling sore tentunya memastikan bahwa bendera sudah turun dan berada ditempatnya.Â
Menyeimbangkan antara akademik dan non-akademik ketika aku menjadi siswa, tentunya bukan hal yang mudah juga. Tidak jarang kegiatan ekstrakulikulerku yang menyita waktu dan energi serta pemikiran membuatku merasa lelah ketika malam harinya. Akibat dari kelelahan itu, membuatku lupa untuk mengulang materi pelajaran. Selain itu tidak jarang juga aku mengikuti perlombaan, menjadi perwakilan sekolah dari tingkat antar kecamatan, kabupaten bahkan sampai dengan nasional dan harus meninggalkan kegiatan akademik yang dalam hal ini belajar mengajar di dalam kelas. Namun aku tetap pada tujuan utama, bagaimanapun semuanya harus seimbang dan menghasilkan sebuah tujuan yang kusebut tiket masuk Universitas Negeri dengan jalur undangan tanpa melalui jalur tes dan hanya menyertakan nilai serta pengalaman berorganisasi.Â
Ketika semua tiket sudah ku kantongi dan perguruan tinggi impian sudah di depan mata, munculah masalah baru. Kedua orangtuaku tidak menyetujui aku untuk meneruskan pendidikan sampai dengan bangku perkuliahan hanya karena ekonomi. Yah lagi dan lagi masalah ekonomi yang menjerat kaki seseorang untuk bisa terus melangkah. Bagaimana aku bisa berlalu menuju impian jikalau saja kedua kaki ini masih terikat. Aku termenung sejenak, akankah aku menurut kepada keadaan?, atau haruskan aku melawan takdir yang sejatinya tidak pernah kuhrapkan ada yang hadir tanpa diskusi dan datang tanpa permisi?Â
Seorang anak memang tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan oleh rahim siapa dan dengan latarbelakang keluarga yang bagaimana, namun tentunya aku bisa memilih untuk bisa menjadi apa dan memilih langkahku untuk bagaimana. Keharusan seorang anak kepada kedua orangtuanya memanglah menurut dan berbakti, tidak melawan perkataan serta mengikuti semua nasehatnya. Namun tidak dengan hal yang demikian. Aku memilih untuk sementara waktu menjadi anak yang durhaka kepada kedua orangtuaku. Durkaha yang aku maksud adalah mencoba untuk menentang sumua nasehat mereka yang tidak memberiku izin untuk melanjutkan pendidikan di Ibukota. Bagaimana tidak, saat mendaftar masuk ke perguruan tinggi dengan jalur undangam saja, aku benar benar mendaftar tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku. Aku mencoba peruntunganku, nasib kehidupanku serta perjuanganku selama kurang lebih 12 tahun lamanya kunantikan.Â
Memang bukan suatu keputusan yang mudah ketika kuputuskan untuk mendurhakai kedua orangtuaku, namum ada hal yang tentunya tidak mereka mengerti di dalam mimpi dan juga pengharapanku selama ini. Sudah aku coba diskusikan dengan kepala dingin dan bicara baik dari hati kehati perihal keinginanku untuk terus melanjutkan pendidikan ini, namun respom dan tanggapan serta keputusan mereka yang masih saja sama yaitu tidak mengizinkan aku untuk berkuliah di luar kota. Namun melihat semangatku, mereka hanya memberi aku satu pilihan, yaitu berkuliah di dalam kota atau tidak sama sekali. Kali ini alasannya bukan hanya sekedar tentang ekonomi, ada hal lain yang sudah aku duga sebelumnya akan terjadi, yaitu alasan gander. Ya tentu saja karena aku anak perempuan yang sepantasnya berada dekat dengam perlindungan keluarga.Â