Mohon tunggu...
Diah Erna
Diah Erna Mohon Tunggu... Guru - penulis lugu

menulis itu menyegarkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Si Mbok dan Emansipasi Perempuan

20 April 2020   16:54 Diperbarui: 20 April 2020   16:57 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biarlah Mbokmu ini jadi petani utun, asal anak-anaknya bisa sekolah tinggi. Hanya itu yang bisa Mbokmu wariskan. Wejangan itulah yang selalu didengungkan Simbok. Simbok tak pernah lulus SD, tapi pemikirannya sangat mumpuni. Ia meyakini bahwa pendidikanlah yang akan mengeluarkan keluarganya dari jeratan kemiskinan dan utang.

Bagaimana tidak? Prinsipnya harus ia tebus dengan perjuangan yang tak mudah dan tak murah. Bangun pukul 03.00 untuk berangkat ke pasar. Di pasar berlarian berebutan petani yang menjual hasil panen dengan pedagang lain. Tak sampai di situ, kembali dari pasar mengerjakan pekerjaan rumah tangga dilanjutkan mengurusi beberapa hewan ternak. 

Menjelang sore ia pergi ke sawah milik budhe yang telah digarap berpuluh tahun. Sebelum adzan Magrib berkumandang, ia baru sampai di rumah dengan senyum mengembang karena ada tawaran mengambil kedelai di desa seberang. Meskipun lelah, ia menuntun sepeda tua menuruni jalanan berbatu dengan beban kedelai 120 kg, di depan 60 kg dan belakang 60 kg. Tak mudah untuk dibayangkan apalagi untuk melakoni, tapi Simbok telah melakoni peran ini selama lebih dari 30 tahun.


Mbok Harni, begitulah sapaan akrabnya. Kalau dibilang ia tipe pemarah, tetapi sangat baik. Pemicu kemarahan biasanya jika ada beberapa pergeseran perhitungan. Wajarlah bagi para pedagang. Apalagi garapan sawah jika terus menerus mengalami bolak balik tanam karena musim yang tak menentu. Wilayah kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo memang tipe sawah tadah hujan sehingga musim sangat memengaruhi kondisi pertanian. Belum lagi surat atau telepon anaknya yang kuliah minta uang bayaran.

Jangkaulah Pendidikan Setinggi Langit

Simbok dikenal baik hati, apalagi kepada tetangga yang pinjam uang untuk membayar sekolah. Ia selalu ingat bagaimana sulitnya masa-masa perjuangan menggapai pendidikan tinggi. Bantulah orang lain selama kaubisa melakukannya, meskipun kondisimu dalam kesempitan. In sya Allah rezeki akan mengalir dari arah yang tiada kausangka, begitulah Simbok bertutur ketika ada tetangga pinjam uang dan baru bisa membayar jika panen tiba. Padahal, kondisi Simbok sedang memerlukan uang.

Mengapa ia mau melakukan pekerjaan berat? Jawabannya sederhana demi pendidikan anak-anaknya. Saya masih ingat betapa ia menundukkan kepala bahkan hampir terjerat riba hanya untuk uang Rp50.000 karena kakak saya diterima kuliah di Farmasi UGM. Tetangga saya pun menawarkan riba yang tinggi, beruntung simbok menolak dan dapat pinjaman dari orang lain. 

Bayangkan, betapa sulitnya penghidupan kala itu, anak pertama kuliah, anak kedua SMEA, anak ketiga SD. Di sinilah hebatnya simbok yang bisa mengambil peran sebagai ibu sekaligus pekerja karena hasil keringat bapak tak seberapa.

Jangan sampai anak-anakku sengsara, nggak berpendidikan, apalagi direndahkan orang lain. Cukuplah aku yang menderita dan tak makan sekolahan, begitulah ujar simbok jika teman-temannya bilang untuk apa bersusah payah dalam mengais rezeki. Bahkan, beliau berutang bank selama 30 tahun. Saya terenyuh melihat bapak pulang sambil tersenyum membawa sertifikat tanah. 

Sertifikat itu telah digadaikan selama kakak masuk kuliah hingga aku selesai bekerja. Setiap hari simbok menyisihkan uang Rp20.000 untuk membayar angsurang bank. Begitulah kehidupan selama 30 tahun beliau lakoni tanpa jemu demi satu kata: pendidikan.

Bagaimana anak-anaknya? Tak pernah dibayangkan seorang buruh tani bisa menguliahkan anak-anaknya. Anak lelakinya berhasil lulus dari UGM jurusan Farmasi dan jadi PNS di BPOM Yogyakarta. Bahkan, mendapat beasiswa s2 dari BPOM pusat untuk menempuh s2 di UGM. Anak perempuannya, lulus s1 di UM dan menjadi PNS di SMP Kabupaten Malang.

 Bahkan, mendapat beasiswa s2 dari P2Tk Dikdas Kemendikbud di UM. Apakah perjuangan simbok berakhir? Tidak! Baginya perjuangan terus berlanjut. Simbok tipe orang yang gigih jika ingin mendapatkan sesuatu, bahkan terkadang menjalani pekerjaan di luar kemampuannya. Meskipun diabetes menjalari tubuh rentanya, hingga saat ini beliau masih aktif berdagang dan menggarap sawah. Beliau juga aktif dalam jamaah pengajian, bahkan mahir membaca Al Quran padahal baru belajar juga setelah berusia uzur.

Apa yang membuat Simbok dibilang berhasil mengentaskan anak-anaknya pada pendidikan tinggi? Jawabannya hanya satu: kegigihan. Kegigihan dalam mempertahankan prinsip, kegigihan dalam berusaha, kegigihan untuk terus berdoa. Prinsipnyalah yang sukses mengantarkan keberhasilan putra putrinya meluluskan pendidikan. Menurutku penanaman karakter inilah yang perlu diteladani ibu-ibu zaman sekarang.

Nggak muluk-muluk hidup itu, bisa menyaksikan anak-anak keturunannya sukses dan berakhlak baik, cukuplah bagiku. Itu bisa kalau kau utamakan pendidikan, begitulah komentar simbok jika ditanya keinginan. Beliau benar-benar Kartini bagiku, tak ada yang lain. Inilah hebatnya emansipasi perempuan karena pendidikan utama berada di tangan lembut ibu dan kegigihan seorang ibu. Mengapa? Ibulah awal mula yang mengajarkan apa pun. 

Pernah saya dihukum fasilitator ketika Pelatihan Mentalitas Dasar di perusahaan gegara tidak bisa menunjukkan foto idola (di mana saya menyebutkan ibu sebagai idola). Dahulu belum  musim HP kamera dan saya tipe orang yang nggak suka menyimpan foto dalam dompet. Beberapa teman menawarkan foto ibunya, tapi saya tidak akan bohong dan mengganti simbok dengan ibu manapun. 

Alhasil, fasilitator marah dan tidak mau melanjutkan pelatihan hingga saya berhasil membawa foto ibu ke hadapannya. Dengan kegigihanlah, dalam waktu 50 menit saya bisa PP Klaten  Weru (56 km) hanya untuk mengambil foto simbok. Betapa ini menjadi pengalaman berharga bahwa panutan kegigihan yang dicontohkan simbok telah melekat pada diriku.

Panutan. Itulah yang diperlukan zaman sekarang. Simbok tidak perlu menjelaskan pentingnya disiplin, beliau memberi contoh kedisiplinan lewat pengaturan kerja, ibadah, dan istirahat. Simbok tak segan mengajak saya ke sawah atau mengambil kedelai ke desa sebelah untuk mengajarkan tanggung jawab dan pentingnya menghargai uang sekaligus mengajarkan kerja keras. 

Bahkan, simbok tak perlu menggembar-gemborkan pentingnya pendidikan, cukup mengajak saya ke rumah paklik untuk pinjam uang agar saya bisa kuliah atau kegigihannya belajar membaca Al Quran.  

Ada kegetiran yang enggan beliau bagi. Namun, guratan di wajah dan renta tubuh telah melukiskan segalanya. Beliau berpesan kepada cucunya (putra almarhum kakak) Ayahmu itu patuh, menjalankan agama dengan baik, dan mengutamakan pendidikan. Jadi, apa pun yang terjadi. Teruslah menuntut ilmu setinggi-tingginya karena pendidikan yang akan mengantarmu ke gerbang kebaikan. 

Jadi, setiap perempuan pasti punya kiprah masing-masing dalam keluarga, masyarakat, maupun hidupnya karena setiap perempuan itu istimewa.  Selamat Hari Kartini dengan berkiprah tiada henti untuk mengabdi pada negeri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun