Mohon tunggu...
Diah Erna
Diah Erna Mohon Tunggu... Guru - penulis lugu

menulis itu menyegarkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah, Pandemi Covid-19, dan Kantin

28 Maret 2020   22:09 Diperbarui: 29 Maret 2020   05:56 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peta persebaran virus corona semakin meluas. Hingga Sabtu (28/03/2020) di Jawa Timur tercatat ada 11 lonjakan positif corona, berarti total orang yang positif terinfeksi virus corona 77 orang. 

Hal ini mengindikasikan bahwa pemberlakuan belajar, bekerja, beribadah di rumah atau banyaknya tagar #dirumahsaja masih belum terlaksana dengan baik.

Sebagai seorang guru, secara otomatis saya selalu aktif di media sosial yang menjadi penyambung komunikasi antara saya dengan para siswa. Tidak mudah menjalaninya, tetapi kami berupaya memaksimalkan semua media yang ada.

Aplikasi yang digunakan antara lain WhatsApp, telegram, google form, maupun email. Melalui aplikasi tersebut kami mengirim foto, video, diskusi tulis tentang soal-soal, dan sebagainya.  

Ada yang membuat saya trenyuh ketika ada beberapa siswa yang kebingungan mengirim tugas karena dia tidak memiliki android. Orang tuanya pun memiliki telepon genggam yang hanya bisa untuk telepon dan sms. 

Parahnya, kita tidak tahu hingga kapan masa pembelajaran di rumah ini akan berakhir. Ini merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Tentunya semua memori otak akan merekam kejadian luar biasa. Bagaimana corona mengubah dunia dengan segala aktivitasnya.

Namun, ada yang menarik tatkala saya pancing mereka meluapkan kerinduan untuk sekolah. Sederhana saja ternyata yang anak-anak pikirkan. Bahwa mereka hanya ingin bertemu dengan teman, bermain, berdebat, berselisih kemudian berbaikan yang kesemuanya tidak diperoleh ketika pembelajaran daring. 

Nggak enak, Bu belajar di rumah. Semua mikir sendiri. Ternyata, bosan juga terlalu lama online, Bu. Apalagi, saya sudah kangen kantin, Bu. Kapan kita masuk sekolah, Bu?

Dari sekian chat, yang paling banyak dibahas yaitu teman, keusilan, dan peringkat pertama adalah kantin. Ya, kantin merupakan tempat yang paling dirindukan anak-anak. 

Betapa mereka merindukan bakpao, kue coklat, nugget jawa, cilok, ataupun jajanan lain yang murah meriah sekaligus mengenyangkan. Ya, kantin sangat dirindukan karena di sanalah mereka mendapatkan kebebasan berekspresi daripada di kelas. 

Maksud saya, di kantin mereka bebas makan, bicara, bergurau dengan bahasa mereka tentunya. Jika di kelas tentu ada beberapa aturan, misalnya ketika pelajaran bahasa Inggris tentunya mereka berbahasa Inggris.

Ada lagi celoteh anak lelaki, kangen bermain sepakbola, Bu. Bagaimana tidak? Biasanya jam istirahat, ada longgar waktu, bahkan bolos pelajaran mereka gunakan untuk bermain sepakbola. Bahkan, saya ke luar sebentar untuk berbelanja tidak pernah sekalipun saya bertemu anak-anak. Mereka benar-benar menerapkan social distancing. 

Social distancing adalah mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain, mengurangi kontak tatap muka langsung. 

Langkah ini termasuk menghindari pergi ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti supermarket, bioskop, dan stadion. Bila seseorang dalam kondisi yang mengharuskannya berada di tempat umum, setidaknya perlu menjaga jarak sekitar 1,5 meter dari orang lain.

Bahkan, ketika diunggah jadwal Ujian Sekolah mereka dengan antusias sudah mengatakan Yes, masuk sekolah. Saya yakin ketika saya beri tahu bahwa ujian dilaksanakan secara daring mereka kecewa. 

Bukan karena apa-apa, tetapi kerinduan mereka untuk ke sekolah. Meskipun dalam candaan, mereka ternyata memikirkan nasib sekolah. Bu, meja-mejanya pasti berdebu, belum lagi daun beringin pasti sudah numpuk ya, apa pak Munir juga masih masuk? Ayo, ke sekolah kerja bakti! Ingat, jaraknya satu meter ya. Begitulah komentar anak-anak.

Bagaimana kerinduan kalian dengan para guru? Ternyata, ada di urutan yang ke-sekian. Yang mereka rindukan adalah omelan bapak ibu guru ketika mereka membuat sedikit kenakalan, katanya. 

Padahal, sang guru sudah rindu berat. Ternyata, rindu itu bertepuk sebelah tangan. Biasanya kelakar saya itu akan disahut huuuuuu seluruh kelas, tetapi kini hanya emoticon. Rindu itu memang berat, ya.

Belum lagi saya harus menjadi guru di rumah, ada si kakak yang SD dan adik yang TK. Keduanya wajib mengirimkan video yang sudah terjadwal. Beruntung di rumah ada wifi. Bagaimana dengan anak-anakku lainnya? Tentu mereka sering kehabisan kuota, katanya. 

Suatu hari anak saya, Si adik sampai memohon kepada ayahnya seluncuran dan ayunan. Ayo, Yah buatin seluncuran. Sekolahku dikunci sama Bu Guru tidak boleh ke sekolah karena ada corona. 

Ya, anak-anak merindukan bermain, berinteraksi secara langsung. Kita baru menyadari bahwa keberadaan orang lain di sekitar kita sangat penting, bahkan orang yang kita anggap nggak penting pun sekarang menjadi sedemikian kita rindukan. Ternyata, selama ini kita angkuh, terlalu berkutat dengan dunia maya. 

Dan Allah telah mengingatkan kita melalui corona bahwa hubungan sosial itu sangat penting. Silaturahmi itu meluaskan rezeki. Ternyata, dunia maya itu benar-benar maya, kenikmatan hanya sementara. Ya, ada banyak hikmah dari setiap musibah agar kita lebih beriman kepada-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun